Tepuk tangan penonton berderai-derai, mengiringi selesainya perempuan itu menyajikan presentasinya yang hanya lima belas menit. Namun wajahnya masih pias, di hadapan kurang lebih seratus audiens, yang rata-rata Professor, Doktor, dan mahasiswa, matanya berkaca-kaca. Ingin ia menangis, tapi sungguh bukan di sana tempatnya. Sang pembawa acara menyilahkannya untuk kembali ke kursi tempatnya duduk.
Kawan di sebelahnya menyalaminya "Charesso!" katanya. Diupayakannya tersenyum, masih dengan terpaksa. Ia ingin segera pulang ke kota tempatnya tinggal, tapi entah Sang Professor akan memberinya ijin atau tidak. Meski presentasinya telah selesai, conference masih akan berlanjut hingga esok harinya. Ia menunduk, memejamkan mata, tak ingin lagi menonton presentasi ilmuwan yang lain.
"Onni monjo nagalkoya, iril chom issoso, najunge yollak halkoya..", begitu kawan di sebelahnya membisikinya. Ia hanya mengangguk. Kembali memejamkan mata. Seorang doktor asal Myanmar sedang menampilkan presentasinya. Ia berusaha fokus, memandang layar besar di depannya dan mendengarkan lelaki itu berceramah. Tapi gagal, ia sudah tak mampu lagi berkonsentrasi. Sejenak kemudian ponselnya bergetar, dari Sumin Onni. Ia keluar dari ruangan itu, dadanya masih sesak.
Sumin Onni mengajaknya berjalan menjelajahi gedung besar berlantai 17 itu. Mereka masuk ke sebuah coffee shop. "What do you want to drink?", tanyanya pada perempuan itu. "OK, green tea latte, please". Sumin Onni membayarkan minumannya, lalu mengajaknya duduk di salah sudut kafe itu. Ia mengajak perempuan itu mengobrol dan berfoto-foto, berharap agar wajah piasnya berangsur normal. "It's Okay, you did it well. Smile!" katanya sambil tersenyum. Perempuan itu masih saja datar, dengan nafas satu-satu.
Dinner time tibalah juga, bersama dengan beberapa anggota lab yang lain, yang juga hadir dalam conference itu, berangkatlah mereka bersama-sama ke lantai 16, tempat restoran di gedung itu berada. Seorang labmate mendekatinya. "Wow, you did it well. Your pronunciation was so clear, everybody just easily understood what you were talking about."
"Thanks", katanya. Pujian itu tidak cukup menuntaskan degup dadanya yang makin kencang. Padahal ia telah beristighfar berkali-kali.
Belum sempat menyentuh makanan, seorang doktor mendekatinya. Ia memegang buku prosesing conference itu, menunjukkan sebuah abstract bertuliskan namanya. "Hello, I'm really appreciated in what you are doing now. This experiment is really great. Is this your email address?" tanyanya. "Thank you very much. "This is not my email address, but you can contact this email. It belongs to my Professor." jawabnya. Degup jantungnya makin keras setelah menyebut kata Professor. Lelaki itulah yang membuatnya belum tenang. Ia takut setengah mati akan apa yang akan beliau komentarkan. Sementara hingga saat itu belum juga ia bertemu dengannya. "Oh, may I know your email address?" ujarnya lagi. "Of course, by the way, are you going to present your experiment tomorrow?", tanyanya sekedar berbasa-basi. "Yeah, I'm going to do my presentation tomorrow in the end of the session." jawabnya. "Ok then, I'll be there tomorrow" ujarnya lagi.
Conference hari itu selesai juga, ia dan seluruh lab member kembali ke lab yang hanya lima menit jaraknya dari gedung itu. Sepuluh menit kemudian Professor datang dan berujar dengan kalimat datar "Charesso!". Ia diam dan menunduk. Alarm ponselnya berbunyi, sudah maghrib. Ia berlari bersegera mengambil air wudhu. Di ruang kultur ia tumpahkan segala sesak di dadanya, air matanya mengalir, berterima kasih pada Yang Maha Mengatur. Sungguh, tak ada kemudahan melainkan Ia yang menjadikannya mudah. Ia sadar betapa pengasihnya Allah. Betapa ia hanya orang bodoh dan miskin dari kampung, sedangkan Allah menutupkan aib-aibnya di depan seratus peserta berpendidikan tinggi. Degup kencang berangsur normal. Ia tersenyum, berterima kasih pada-Nya.
After the day, KSHS Spring 2012
KNU Global Plaza, 17 May 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar