oleh Merisha Hastarina, Jinju [Juara III Lomba Esai PPM-IMUSKA]
Katakanlah kepada wanita yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kehormatannya; janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak padanya. Wajib atas mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya.
(QS An-Nur : 31)
Mengenakan kerudung bagi sebagian wanita di Indonesia masih dijadikan sebuah tren masa kini. Meski peraturan mengenakan kerudung bagi setiap wanita muslimah ini sudah sangat jelas tertuang dalam firman ALLAH SWT (QS. An-Nur: 31). Mind set sebagian warga yang seolah “latah” dengan keadaan sekitar, akan sangat disayangkan terkadang hal ini justru terjadi pada adik-adik kita yang duduk di bangku sekolah. Apakah ada yang salah dengan pendidikan agama mereka? Atau ada yang salah dengan cara orang tua mendidik? Atau kesalahan datang dari pribadi mereka sendiri yang tak begitu memahami peran dan kewajiban berkerudung?
Tak sedikit dari mereka yang latah langsung mengenakan kerudung sesaat setelah booming nya film Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih. Seolah semua ingin sama dan mirip dengan Aisyah dan Ana Althafunnisa dalam kedua film tersebut. Lantas apakah mereka benar-benar sadar akan kerudung yang dikenakannya adalah kewajiban bukan musiman atau trend? Ini pula yang sering kali menjadi penyebab banyaknya muslimah yang kembali membuka kerudungnya.
Sebagaimana dalam hadist Rasulullah SAW “sesungguhnya suatu perkara itu bergantung pada niat nya”. Sama seperti saat kita mengambil keputusan untuk mengenakan kerudung, jika ini sudah benar-benar diniatkan dalam hati untuk memenuhi perintah ALLAH, maka segala bentuk godaan dapat kita lewati.
Berbeda hal nya dengan Korea Selatan, negara yang dikenal tidak memiliki agama ini, tidak mengenal Islam apalagi kerudung. Berkerudung di negeri kimchi ini sudah tentu akan menjadi kaum minoritas. Meskipun Indonesia bukan Negara muslim, namun Indonesia memiliki populasi cukup besar sebagai salah satu negara dengan jumlah muslim terbanyak. Sementara Korea sebagai negara yang tidak mengenal agama ini, sudah mencapai jumlah 145–200 ribu jiwa penduduk yang tercatat sebagai muslim. Meski hanya sekitar 50 ribu jiwa muslim yang notabene warga negara Korea, dan selebihnya adalah pendatang atau warga asing. [1](Suara Media)
Alhamdulilah saya mendapat kesempatan untuk meneruskan studi hingga ke Korea. Ketika membayangkan seperti apa tempat yang akan saya tinggali beberapa tahun ke depan, saya sudah menyadari bahwa agama yang saya peluk bukanlah mayoritas. Namun saya juga tidak menyangka bahwa pengetahuan orang Korea terhadap Islam masih sangat minim. Ini terbukti ketika beberapa tahun lalu hingga sekarang masih saja kerudung saya seringkali menjadi pertanyaan bagi warga yang tidak mengenal apa itu Islam dan apa yang saya kenakan di kepala saya. Belum lagi jika musim panas tiba, pertanyaan lebih banyak muncul karena mungkin mereka merasa aneh dan risih saat orang-orang sibuk berkipas, mengenakan busana yang tipis dan minim, saya justru mengenakan pakaian yang serba tertutup, baju dengan celana atau rok panjang lengkap dengan penutup kepala.
Anehnya pertanyaan tersebut tak hanya dilontarkan oleh orang Korea, tapi juga beberapa kawan dari negara yang mayoritas penduduk nya beragama Islam. Mereka merasa bahwa sedang berada di Korea maka ikutlah apa yang dikerjakan oleh orang Korea dan tinggalkan sejenak budaya yang kita bawa dari negara kita. “Ini kan Korea bukan Indonesia, tidak ada yang berkerudung di sini, jadi lepas saja dulu kerudungmu. Nanti kalau sudah kembali ke negara mu baru kau pakai kembali”. Kalimat itu terlontar dari bibirnya kala itu, ampunkan kami Ya Allah. Padahal yang bersangkutan sudah jelas tahu bahwa yang saya kenakan ini bukan budaya Indonesia.
Menjadi agama minoritas dalam satu lingkungan bukan berarti kita harus melepaskan kepercayaan dan nilai-nilai yang selama ini kita pegang. Sejatinya seperti itu, namun tetap saja saya menemui segelintir kenalan, teman, sahabat yang benar-benar melakukan perubahan diri, cara pandang, appearance, bahkan meninggalkan lingkungan Islam yang dulu dekat dengan nya. Perubahan ini terjadi setelah mereka tiba di Korea, berada di satu tempat baru yang benar-benar berbeda dari negeri asalnya, tanpa ada pengawasan dari orang tua, saudara, teman dekat, belum lagi lingkungan baru ini sangat mendukung untuk menjadikan pribadi yang baru, begitu mungkin sudut pandang pemikiran yang mereka ambil.
Salah satu perubahan yang dilakukan setibanya mereka di Korea adalah dengan menanggalkan kerudung yang selama ini telah dengan sangat baik menjaga auratnya, padahal sebelumnya ketika masih berada di Indonesia mereka telah terbiasa mengenakan penutup kepala ini. Namun entah dorongan dari mana atau karena mereka merasa kerudung bukan sesuatu yang biasa mereka kenakan di Korea sebagai negara yang ditinggalinya sekarang, atau karena merasa risih terlihat berbeda dari teman lain dengan model rambut beragam dan penuh warna. Mungkin beberapa hal tersebut telah membuat mereka merasa yakin untuk mulai meninggalkan kerudung yang mereka rasa dapat mengurangi kebahagiaan dan kebebasan hidup mereka di Korea, Astaghfirullah.
Jika melihat dari segi umur, tentu saudari kita yang melakukan perubahan ini sudah bukan anak kecil lagi namun sudah akhil baligh, sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, bahkan bisa dikatakan mereka adalah orang-orang yang cukup pintar karena tiba di Korea pun karena mendapatkan beasiswa.
Sungguh saya pun masih sangat jauh dari baik apalagi sempurna karena tidak ada yang sempurna di dunia ini, saya juga tidak bermaksud menggurui atau mendikte, hanya saja sangat menyayangkan sekali melihat hal seperti ini terjadi. Apakah memakai kerudung dianggap sebagai sebuah kultur saja? Trend fashion yang saat ini sedang digemari? Sesuatu yang digunakan untuk meningkatkan status sosial? Kewajiban saat di sekolah atau kuliah? Di mana saat semua hal tersebut telah terpenuhi maka kerudung pun dapat dilepas sesuka hati. Tidak kah mereka merasa risih setelah sekian lama mereka menutup auratnya hingga akhirnya memutuskan untuk melepaskan kerudungnya, atau mereka justru merasa tak sabar ingin merasakan sesuatu yang berbeda.
Kita telah dengan sadar menjadikan Islam sebagai pedoman hidup, hal ini berarti kita juga telah percaya dengan sepenuhnya ajaran-ajaran yang termasuk di dalam nya. Islam tidak hanya percaya dalam hati atau hanya dalam lisan saja tapi lebih pada perbuatan karena perbuatan merupakan konkret dari apa yang sudah kita ucapkan dan kita percaya. Jika kita pun percaya dengan hari akhir mengapa tidak dari sekarang kita mencoba menyiapkan bekal untuk ke sana, kita mulai dengan menginterospeksi diri kita apakah kita sudah menjalankan apa-apa yang menjadi kewajiban kita.
Sebetulnya kita sering lupa, padahal di sisi lain kita juga sangat mengerti bahwa eksistensi atau keberadaan kita di dunia ini atas kehendak siapa, tentunya konyol jika kita menjawab orang tua kita semata, karena segala sesuatu yang hidup di muka bumi ini muncul hanya atas izin Allah. Terkadang kita terlalu bangga dengan apa yang telah kita capai, hingga lupa bahwa semua itu juga hadir atas keinginan Allah, siapa yang membawa kita hingga terbang jauh sampai ke Negeri Ginseng. Lantas mengapa kita ingat peraturan yang diberikan dosen di dalam kelas, peraturan dari pemerintah yang harus kita taati atau peraturan dari presiden yang harus didengarkan dapat dengan mudah kita ingat di kepala, sedangkan satu perintah dari yang Maha Tinggi tak kita gubris, malah kita lupakan. Padahal Ia lah yang menciptakan kita hingga dapat kita rasakan berada di bumi ini dengan segala warna warni yang ada.
Tidak pantas rasanya bagi kita untuk melupakan perintah-Nya jika kita ingin selalu diingat-Nya. Tidak pantas rasanya jika membuka aurat kita, jika kelak kita ingin bertemu dengan yang Maha Suci. Tidak kah kita merasa malu jika menginginkan begitu banyak kebahagiaan dan cinta dari- Nya, tanpa memberikan apapun bahkan tak mengikuti apa-apa yang telah menjadi seruan-Nya.
Jilbab bukan hanya budaya semata, dikenakan bukan karena sekarang ini sedang banyak orang yang memakainya, bukan agar kita dipandang sebagai orang yang lebih beriman, bukan pula hanya karena satu peraturan yang harus kita patuhi. Kerudung adalah sebuah pilihan, komitmen diri untuk berpegang dan terus berjalan dalam kehidupan Islami.
Tentunya tidak mudah bagi seorang wanita yang mengagungkan dan identik dengan esensi keindahan untuk memulai menutupi satu persatu bagian dari keindahan pemberian Allah yang ada pada dirinya, harus menutupi dirinya dengan balutan jilbab. Namun jika hati telah mantap, tekad telah bulat menjilbabi aurat juga hati pasti akan terasa ringan. Keinginan untuk menjadi makhluk yang dicintai Allah membuat rasa itu muncul dengan sendirinya dari dalam diri. Tak peduli di lingkungan mana kita berada, tak peduli sebagai minoritas atau mayoritas, kita akan terus bangga menjadi seorang muslimah.
Tampilkan postingan dengan label lomba menulis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label lomba menulis. Tampilkan semua postingan
Minggu, 12 Juni 2011
Rabu, 08 Juni 2011
I’m Muslim Wherever I am
oleh: Elvira Fidelia Tanjung, Jinju (Juara II Lomba Esai PPM-Imuska)
سْتَجِيبُوا لِرَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لاَ مَرَدَّ لَهُ مِنَ اللهِ مَا لَكُمْ مِنْ مَلْجَأٍ يَوْمَئِذٍ وَمَا لَكُمْ مِنْ نَكِير
Patuhilah seruan Tuhan kalian sebelum datang suatu hari yang tidak dapat ditolak kedatangannya. Kalian tidak memperoleh tempat berlindung pada hari itu dan tidak pula dapat mengingkari (dosa-dosa kalian)
(QS Asy-Syura [42]: 47)
Mematuhi perintah Tuhan seperti yang dituliskan dalam penggalan ayat di atas, adalah kewajiban bagi setiap muslim manapun yang memilih Islam sebagai agamanya. Ini juga dapat dikatakan sebagai seruan untuk menjaga agama kita dimanapun kita berada. Indonesia sebagai salah satu negara yang mengakui lima agama dapat menjunjung tinggi nilai-nilai beragama, saling hormat-menghormati dan memberikan kebebasan beragama. Siapapun bebas memilih agama yang sesuai dan benar-benar diyakini.
Berbeda dengan Korea, salah satu negara maju Asia ini tidak mengenal agama. Ada lelucon yang mengatakan bahwa di Korea ada 20 Tuhan. Ada banyak agama di Korea, anatara lain agama yang banyak penganutnya adalah Kristen, Katolik dan Budha (selain itu ada Dogyo, Islam, Hindu, dan agama lain dengan penganut yang lebih sedikit)[1].
Bagi negara-negara yang mengakui lebih dari satu agama, pemerintah sudah memiliki kebijakan dan peraturan dalam membina kehidupan dan kerukunan bergama. Keputusan maupun kebijakan pun tidak melulu mengikuti hukum suatu agama. Lain hal nya dengan negara-negara Islam, yang hanya mengakui Islam sebagai agamanya dan memberlakukan segala kebijakan dan peraturan sesuai hukum Islam. Setiap warga negara yang terlahir, otomatis beragama Islam, tanpa ia pahami apa itu Islam. Mungkin ini juga terjadi pada kita warga Indonesia yang juga terlahir dengan agama mengikuti orang tua. Termasuk saya yang terlahir dari keluarga Islam, dan hingga saat ini Alhamdulillah beragama Islam.
Ada beberapa hal yang membuat saya berpikir “apakah seharusnya kita mengerti dan memahami dulu semua agama, lantas memilihnya satu sebagai agama yang kita yakini?”. Tentunya ini akan lebih adil, atau jika memang kita terlahir sebagai Islam, maka seharusnya tak melulu membenarkan segala pernyataan tentang Islam, melainkan mencari pembenaran itu, mendalami Islam dan lantas meyakini dan merasakannya dalam setiap tarikan nafas. Mungkin ini akan dijalani dengan baik bagi sebagian orang dan tidak ada rasa menyesal atau terpaksa dalam menjalankannya.
“Menjalani perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya” berlaku dimanapun kita berada meski dalam Qur’an juga disebutkan dalam surat An-nisa ayat 59 “hai orang-orang yang beriman, taatilah ALLAH dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu ...” bukan semata kita harus mengikuti dan menghormati pemimpin di antara kita atau pemimpin di antara orang-orang beriman. Tentu saja kita mengikuti dan menghargai setiap pemimpin kita, namun kita bisa menegur atau memilah-milah bahagian mana yang bertentangan dengan Islam atau tidak.
Hal ini juga sering dijumpai dan dijadikan pegangan oleh banyaknya muslim yang terjebak dalam penafsiran yang salah dan dangkalnya pengetahuan mereka akan Islam sebagai agama yang “katanya” mereka yakini. Banyak kasus kesalahpahaman ini terjadi, dan sangat disayangkan sekali jika ini terjadi dikalangan pelajar yang notabene berilmu namun ternyata tidak cukup mengenal dan memahami agamanya.
Salah satu contoh adalah dilarangnya mengenakan cadar di Perancis, negara ini memang sedikit lebih keras dan telah mengeluarkan peraturan tertulisnya melarang keras wanita “bercadar” bukan “berjilbab” ditempat umum dan akan dikenakan denda sebesar 150 euro [2]. Namun terkadang hal ini dijadikan alasan oleh sebahagian pelajar Indonesia untuk membuka jilbab mereka saat mencecahkan kaki di negara yang justru termasuk salah satu negara dengan umat Islam terbanyak di Eropa [3].
Lantas bagaimana dengan Korea? Korea bukan negara yang notabene mengenal agama, bukan pula negara yang melarang keras penduduknya untuk memiliki agama. Lantas apa yang menjadi alasan para muslimah melepas jilbab nya saat berpindah ke negeri ginseng ini? Setiap lingkungan baru pasti butuh penyesuaian dan akan ada banyak masalah disana. Namun bukan berarti kita lantas hanya berserah tanpa melawan masalah dan menyelesaikan dengan kepala dingin. Saya juga menjumpai banyak masalah ketika pertama kali mengisi setiap lekuk paru ini dengan oksigen negeri kimchi. Mulai dari sulitnya mendapatkan makanan halal hingga selama sebulan saya harus rajin mencari “aneka masakan telur” lewat google.com belum lagi ratusan mata yang menatap saya aneh dengan jilbab saya saat musim panas datang, jadwal kuliah yang mengisi setiap jadwal shalat, atau harus menahan lapar saat berbuka puasa sementara harus presentasi di kelas dengan professor yang kejam. Sangat banyak masalah jika kita mau meniliknya, namun alhamdulillah semuanya benar-benar terlewatkan. Justru yang membuat saya risih adalah sikap aneh yang justru berasal dari mereka yang “mengaku muslim”, Astaghfirullah.
Banyak teman-teman muslim yang benar-benar menjiplak adat dan kebiasaan orang Korea tanpa menyaringnya terlebih dulu. Mereka sangat memahami Islam, mereka akan mengeluarkan dalil-dalil yang mereka tahu dan mengucapkannya dengan sangat fasih. Namun lagi-lagi tak mampu diterapkan pada diri mereka sendiri. Mereka meminum alkohol meski tahu alkohol itu haram hukumnya meski hanya setetes. Mereka mengatas namakan cuaca dan memilih menghangatkan tubuh mereka dengan aliran alkohol ditubuhnya daripada sekedar berselimut atau berada di depan perapian.
Saya pernah bekerja paruh waktu sebagai penjual makanan halal. Seperti biasa, pekerjaan ini hanyalah mengantarkan pesanan belanjaan sebagian orang-orang yang jauh dari pusat-pusat penjualan makanan halal. Bos kami (saya dan rekan saya) berasal dari Bangladesh. Subhanallah sekali rasanya, beliau orang yang taat beragama, kedu bibirnya tak lepas dari kalimat-kalimat yang santun dan puji-pujian pada ALLAH, telinga dan matanya selalu melihat dan mendengar tausyiah kalimatullah dari vcd yang selalu ia putar di mobilnya ketika kami menuju tempat-tempat dimana para konsumen kami menanti. Suatu hari saya hanya bekerja sendiri karena teman saya sakit, lantas apa yang terjadi? Entah iblis dari mana yang saat itu menguasai pikirannya, mobil yang melaju kencang di high way itu lantas membelok dan berhenti tepat di depan sebuah motel kecil. Sepi, dan tak banyak mobil yang berlalu lalang di penghujung jalan tol itu. Ia berniat mengajak saya untuk istirahat sejenak di salah satu kamar hotel. Hanya ALLAH yang saya harap dapat memberikan saya kekuatan saat itu, saya berlari sekencang-kencangnya sesaat setelah ia menaiki anak tangga. Subhanallah, ALLAH masih menjaga saya, saya menemukan taksi di ujung jalan dan berhasil kembali ke asrama kampus dengan uang yang tersisa hari itu.
Ternyata bibir manis yang selalu memuji ALLAH dan telinga yang selalu mendengar kalimatullah itu belum tentu bisa sama dan sesuai dengan hati yang dangkal akan ilmu agama.
Berbeda dengan beberapa orang yang saya temui di sekitar masjid di Itaewon-Seoul. Mereka juga tak kalah baik dengan sang bos sebelumnya, kata-kata manis, tasbih yang selalu terselip di jemari mereka, jubah panjang menutup aurat, janggut tebal dan untaian doa yang selalu diucapkan saat bertemu muslim lainnya. Subhanallah, sejuk hati ketika mendengarkan cerita dan doa-doa mereka terhadap sesama muslim. Lagi-lagi mereka tak beragama dengan hati mereka, dengan masih mengajak kencan gadis Korea, atau bahkan seorang muslimah.
Mereka mengotori semua kebaikan sebelumnya hanya dengan pikiran kotor mereka untuk sekedar merayu atau malah menyetubuhi mereka yang bukan hak nya. Malu memang, sangat malu melihat perilaku muslim dan muslimah yang tidak dapat bertanggungjawab dengan kata-kata mereka “I’m muslim”.
Kebanyakan yang saya temui mereka berasal dari negara-negara Islam. Ini mengapa saya beranggapan, agama itu harus di pahami, benar-benar diyakini setelah kita mencari tahu dan memahaminya dengan sebaik-baik ilmu, agar tidak melakukan segala sesuatunya dengan terpaksa.
Mungkin mereka terpaksa melakukan semua kebaikan di negaranya dimana semua orang melakukan hal baik yang sama. Akan terlihat aneh dan menjadi minoritas pasti jika mereka tidak melakukannya. Inilah mengapa saat mereka berhijrah ke suatu negara dengan kebebasan untuk melakukan apapun bahkan bebas untuk tak ber Tuhan, mereka pun seolah bak seekor singa yang keluar dari kandangnya. Liar, dan melakukan segala yang mereka mau, segala yang dilarang di negara mereka.
Siapa pengisi klub malam di Seoul kalau bukan mereka para bangsa Arab yang memiliki banyak uang. Siapa yang suka bermain wanita kalau juga bukan mereka bangsa Arab, Pakistan, India, Bangladesh dan negara muslim lainnya.
Dont judge a book by its cover memang benar, tidak selamanya mereka yang berpenampilan bak seorang ustad atau paham agama bisa benar-benar menutup hati nya dari segala godaan duniawi. Banyak juga muslimah yang gagal mempertahankan jilbabnya di Korea yang sama sekali tidak melarang mereka untuk berjilbab bahkan bercadar. Mereka membuka jilbabnya dan mengenakan pakaian mini layaknya gadis Korea. Mereka seolah tidak merasa aneh atau malu untuk membuka aurat yang selama ini mereka tutup. Seperti banyaknya teman-teman yang aneh dengan status virgin seorang gadis di usia mereka yang mencapai 20-an. Mereka pun seolah terbuai dengan pria-pria asing bertubuh perkasa dan berwajah tampan, dan menorehkan status “unvirgin” mereka di negeri Ginseng ini. Astaghfirullah, semoga ALLAH mengampuni mereka dan kita semua.
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi ini ...” firman ALLAH dalam Qur’an surat Al-Baqarah ayat 30 ini menjelaskan peran manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini. Apakah kita semua adalah khalifah? Benar, kita semua adalah khalifah setidaknya untuk diri kita sendiri. Menjadi pemimpin yang dapat menguasai diri kita sendiri dengan sebaik-baiknya, menguasai hati, pikiran dan perilaku kita sebagai umat-Nya yang beragama. Mereka, saudara-saudara kita yang “telah gagal” menjadi khalifah bagi dirinya sendiri.
Salah menafsirkan, salah menempatkan apakah itu firman ALLAH dalam Qs. An-Nisa; 59 atau hanya sekedar pepatah melayu “dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung”?. Alhamdulillah, bagi saya dan saya harap bagi siapapun, “bangga menjadi Islam dimanapun berada”.
Di saat berpuluh-puluh orang Korea mengucapkan syahadat nya karena keyakinan mereka akan Islam, kita yang mengerti Islam dan terlahir sebagai seorang muslim malah menodai agama ini dengan hawa nafsu yang tak terbendung. Kenali, pelajari, hayati, pahami, rasakan, dan jalanilah Islam sebelum kita lantang menyuarakan “I’m Muslim” dan bertanggungjawablah atas apa yang telah kita pilih.
Korea telah membuka mata saya dan memberikan banyak pengalaman berharga dan membuat saya bangga terlahir sebagai muslimah. “I’m muslim wherever I’am”. May ALLAH always guide us and all of muslims in the world in the right path, Aamiin.
Referensi :
1. Chung Su-jin, “Tuhan – Dua dunia” KOICA-PERPIKA 2005
2. Republika, “kasus pertama, polisi Perancis denda perempuan mengenakan cadar di pusat perbelanjaan” 12 April 2011
3. Lhaj Thami Breze (ketua Organisasi Persatuan Islam di perancis), UOIF 2007
سْتَجِيبُوا لِرَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لاَ مَرَدَّ لَهُ مِنَ اللهِ مَا لَكُمْ مِنْ مَلْجَأٍ يَوْمَئِذٍ وَمَا لَكُمْ مِنْ نَكِير
Patuhilah seruan Tuhan kalian sebelum datang suatu hari yang tidak dapat ditolak kedatangannya. Kalian tidak memperoleh tempat berlindung pada hari itu dan tidak pula dapat mengingkari (dosa-dosa kalian)
(QS Asy-Syura [42]: 47)
Mematuhi perintah Tuhan seperti yang dituliskan dalam penggalan ayat di atas, adalah kewajiban bagi setiap muslim manapun yang memilih Islam sebagai agamanya. Ini juga dapat dikatakan sebagai seruan untuk menjaga agama kita dimanapun kita berada. Indonesia sebagai salah satu negara yang mengakui lima agama dapat menjunjung tinggi nilai-nilai beragama, saling hormat-menghormati dan memberikan kebebasan beragama. Siapapun bebas memilih agama yang sesuai dan benar-benar diyakini.
Berbeda dengan Korea, salah satu negara maju Asia ini tidak mengenal agama. Ada lelucon yang mengatakan bahwa di Korea ada 20 Tuhan. Ada banyak agama di Korea, anatara lain agama yang banyak penganutnya adalah Kristen, Katolik dan Budha (selain itu ada Dogyo, Islam, Hindu, dan agama lain dengan penganut yang lebih sedikit)[1].
Bagi negara-negara yang mengakui lebih dari satu agama, pemerintah sudah memiliki kebijakan dan peraturan dalam membina kehidupan dan kerukunan bergama. Keputusan maupun kebijakan pun tidak melulu mengikuti hukum suatu agama. Lain hal nya dengan negara-negara Islam, yang hanya mengakui Islam sebagai agamanya dan memberlakukan segala kebijakan dan peraturan sesuai hukum Islam. Setiap warga negara yang terlahir, otomatis beragama Islam, tanpa ia pahami apa itu Islam. Mungkin ini juga terjadi pada kita warga Indonesia yang juga terlahir dengan agama mengikuti orang tua. Termasuk saya yang terlahir dari keluarga Islam, dan hingga saat ini Alhamdulillah beragama Islam.
Ada beberapa hal yang membuat saya berpikir “apakah seharusnya kita mengerti dan memahami dulu semua agama, lantas memilihnya satu sebagai agama yang kita yakini?”. Tentunya ini akan lebih adil, atau jika memang kita terlahir sebagai Islam, maka seharusnya tak melulu membenarkan segala pernyataan tentang Islam, melainkan mencari pembenaran itu, mendalami Islam dan lantas meyakini dan merasakannya dalam setiap tarikan nafas. Mungkin ini akan dijalani dengan baik bagi sebagian orang dan tidak ada rasa menyesal atau terpaksa dalam menjalankannya.
“Menjalani perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya” berlaku dimanapun kita berada meski dalam Qur’an juga disebutkan dalam surat An-nisa ayat 59 “hai orang-orang yang beriman, taatilah ALLAH dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu ...” bukan semata kita harus mengikuti dan menghormati pemimpin di antara kita atau pemimpin di antara orang-orang beriman. Tentu saja kita mengikuti dan menghargai setiap pemimpin kita, namun kita bisa menegur atau memilah-milah bahagian mana yang bertentangan dengan Islam atau tidak.
Hal ini juga sering dijumpai dan dijadikan pegangan oleh banyaknya muslim yang terjebak dalam penafsiran yang salah dan dangkalnya pengetahuan mereka akan Islam sebagai agama yang “katanya” mereka yakini. Banyak kasus kesalahpahaman ini terjadi, dan sangat disayangkan sekali jika ini terjadi dikalangan pelajar yang notabene berilmu namun ternyata tidak cukup mengenal dan memahami agamanya.
Salah satu contoh adalah dilarangnya mengenakan cadar di Perancis, negara ini memang sedikit lebih keras dan telah mengeluarkan peraturan tertulisnya melarang keras wanita “bercadar” bukan “berjilbab” ditempat umum dan akan dikenakan denda sebesar 150 euro [2]. Namun terkadang hal ini dijadikan alasan oleh sebahagian pelajar Indonesia untuk membuka jilbab mereka saat mencecahkan kaki di negara yang justru termasuk salah satu negara dengan umat Islam terbanyak di Eropa [3].
Lantas bagaimana dengan Korea? Korea bukan negara yang notabene mengenal agama, bukan pula negara yang melarang keras penduduknya untuk memiliki agama. Lantas apa yang menjadi alasan para muslimah melepas jilbab nya saat berpindah ke negeri ginseng ini? Setiap lingkungan baru pasti butuh penyesuaian dan akan ada banyak masalah disana. Namun bukan berarti kita lantas hanya berserah tanpa melawan masalah dan menyelesaikan dengan kepala dingin. Saya juga menjumpai banyak masalah ketika pertama kali mengisi setiap lekuk paru ini dengan oksigen negeri kimchi. Mulai dari sulitnya mendapatkan makanan halal hingga selama sebulan saya harus rajin mencari “aneka masakan telur” lewat google.com belum lagi ratusan mata yang menatap saya aneh dengan jilbab saya saat musim panas datang, jadwal kuliah yang mengisi setiap jadwal shalat, atau harus menahan lapar saat berbuka puasa sementara harus presentasi di kelas dengan professor yang kejam. Sangat banyak masalah jika kita mau meniliknya, namun alhamdulillah semuanya benar-benar terlewatkan. Justru yang membuat saya risih adalah sikap aneh yang justru berasal dari mereka yang “mengaku muslim”, Astaghfirullah.
Banyak teman-teman muslim yang benar-benar menjiplak adat dan kebiasaan orang Korea tanpa menyaringnya terlebih dulu. Mereka sangat memahami Islam, mereka akan mengeluarkan dalil-dalil yang mereka tahu dan mengucapkannya dengan sangat fasih. Namun lagi-lagi tak mampu diterapkan pada diri mereka sendiri. Mereka meminum alkohol meski tahu alkohol itu haram hukumnya meski hanya setetes. Mereka mengatas namakan cuaca dan memilih menghangatkan tubuh mereka dengan aliran alkohol ditubuhnya daripada sekedar berselimut atau berada di depan perapian.
Saya pernah bekerja paruh waktu sebagai penjual makanan halal. Seperti biasa, pekerjaan ini hanyalah mengantarkan pesanan belanjaan sebagian orang-orang yang jauh dari pusat-pusat penjualan makanan halal. Bos kami (saya dan rekan saya) berasal dari Bangladesh. Subhanallah sekali rasanya, beliau orang yang taat beragama, kedu bibirnya tak lepas dari kalimat-kalimat yang santun dan puji-pujian pada ALLAH, telinga dan matanya selalu melihat dan mendengar tausyiah kalimatullah dari vcd yang selalu ia putar di mobilnya ketika kami menuju tempat-tempat dimana para konsumen kami menanti. Suatu hari saya hanya bekerja sendiri karena teman saya sakit, lantas apa yang terjadi? Entah iblis dari mana yang saat itu menguasai pikirannya, mobil yang melaju kencang di high way itu lantas membelok dan berhenti tepat di depan sebuah motel kecil. Sepi, dan tak banyak mobil yang berlalu lalang di penghujung jalan tol itu. Ia berniat mengajak saya untuk istirahat sejenak di salah satu kamar hotel. Hanya ALLAH yang saya harap dapat memberikan saya kekuatan saat itu, saya berlari sekencang-kencangnya sesaat setelah ia menaiki anak tangga. Subhanallah, ALLAH masih menjaga saya, saya menemukan taksi di ujung jalan dan berhasil kembali ke asrama kampus dengan uang yang tersisa hari itu.
Ternyata bibir manis yang selalu memuji ALLAH dan telinga yang selalu mendengar kalimatullah itu belum tentu bisa sama dan sesuai dengan hati yang dangkal akan ilmu agama.
Berbeda dengan beberapa orang yang saya temui di sekitar masjid di Itaewon-Seoul. Mereka juga tak kalah baik dengan sang bos sebelumnya, kata-kata manis, tasbih yang selalu terselip di jemari mereka, jubah panjang menutup aurat, janggut tebal dan untaian doa yang selalu diucapkan saat bertemu muslim lainnya. Subhanallah, sejuk hati ketika mendengarkan cerita dan doa-doa mereka terhadap sesama muslim. Lagi-lagi mereka tak beragama dengan hati mereka, dengan masih mengajak kencan gadis Korea, atau bahkan seorang muslimah.
Mereka mengotori semua kebaikan sebelumnya hanya dengan pikiran kotor mereka untuk sekedar merayu atau malah menyetubuhi mereka yang bukan hak nya. Malu memang, sangat malu melihat perilaku muslim dan muslimah yang tidak dapat bertanggungjawab dengan kata-kata mereka “I’m muslim”.
Kebanyakan yang saya temui mereka berasal dari negara-negara Islam. Ini mengapa saya beranggapan, agama itu harus di pahami, benar-benar diyakini setelah kita mencari tahu dan memahaminya dengan sebaik-baik ilmu, agar tidak melakukan segala sesuatunya dengan terpaksa.
Mungkin mereka terpaksa melakukan semua kebaikan di negaranya dimana semua orang melakukan hal baik yang sama. Akan terlihat aneh dan menjadi minoritas pasti jika mereka tidak melakukannya. Inilah mengapa saat mereka berhijrah ke suatu negara dengan kebebasan untuk melakukan apapun bahkan bebas untuk tak ber Tuhan, mereka pun seolah bak seekor singa yang keluar dari kandangnya. Liar, dan melakukan segala yang mereka mau, segala yang dilarang di negara mereka.
Siapa pengisi klub malam di Seoul kalau bukan mereka para bangsa Arab yang memiliki banyak uang. Siapa yang suka bermain wanita kalau juga bukan mereka bangsa Arab, Pakistan, India, Bangladesh dan negara muslim lainnya.
Dont judge a book by its cover memang benar, tidak selamanya mereka yang berpenampilan bak seorang ustad atau paham agama bisa benar-benar menutup hati nya dari segala godaan duniawi. Banyak juga muslimah yang gagal mempertahankan jilbabnya di Korea yang sama sekali tidak melarang mereka untuk berjilbab bahkan bercadar. Mereka membuka jilbabnya dan mengenakan pakaian mini layaknya gadis Korea. Mereka seolah tidak merasa aneh atau malu untuk membuka aurat yang selama ini mereka tutup. Seperti banyaknya teman-teman yang aneh dengan status virgin seorang gadis di usia mereka yang mencapai 20-an. Mereka pun seolah terbuai dengan pria-pria asing bertubuh perkasa dan berwajah tampan, dan menorehkan status “unvirgin” mereka di negeri Ginseng ini. Astaghfirullah, semoga ALLAH mengampuni mereka dan kita semua.
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi ini ...” firman ALLAH dalam Qur’an surat Al-Baqarah ayat 30 ini menjelaskan peran manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini. Apakah kita semua adalah khalifah? Benar, kita semua adalah khalifah setidaknya untuk diri kita sendiri. Menjadi pemimpin yang dapat menguasai diri kita sendiri dengan sebaik-baiknya, menguasai hati, pikiran dan perilaku kita sebagai umat-Nya yang beragama. Mereka, saudara-saudara kita yang “telah gagal” menjadi khalifah bagi dirinya sendiri.
Salah menafsirkan, salah menempatkan apakah itu firman ALLAH dalam Qs. An-Nisa; 59 atau hanya sekedar pepatah melayu “dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung”?. Alhamdulillah, bagi saya dan saya harap bagi siapapun, “bangga menjadi Islam dimanapun berada”.
Di saat berpuluh-puluh orang Korea mengucapkan syahadat nya karena keyakinan mereka akan Islam, kita yang mengerti Islam dan terlahir sebagai seorang muslim malah menodai agama ini dengan hawa nafsu yang tak terbendung. Kenali, pelajari, hayati, pahami, rasakan, dan jalanilah Islam sebelum kita lantang menyuarakan “I’m Muslim” dan bertanggungjawablah atas apa yang telah kita pilih.
Korea telah membuka mata saya dan memberikan banyak pengalaman berharga dan membuat saya bangga terlahir sebagai muslimah. “I’m muslim wherever I’am”. May ALLAH always guide us and all of muslims in the world in the right path, Aamiin.
Referensi :
1. Chung Su-jin, “Tuhan – Dua dunia” KOICA-PERPIKA 2005
2. Republika, “kasus pertama, polisi Perancis denda perempuan mengenakan cadar di pusat perbelanjaan” 12 April 2011
3. Lhaj Thami Breze (ketua Organisasi Persatuan Islam di perancis), UOIF 2007
Label:
juara 2,
lomba menulis,
ppm imuska


Senin, 06 Juni 2011
Alhamdulillah Aku Seorang Muslim
Oleh Citra Amaliyah, Jeonju
Aku dilahirkan atas karunia-Nya. Aku hidup atas kasih sayang-Nya. Aku ada di negeri ginseng ini atas kebaikan-Nya. Maka aku akan bertahan di sini karena-Nya.
Pengumuman mendadak tentang keberangkatan ke Korea sungguh kabar yang mengagetkan dan juga menggembirakan. Hanya selang satu bulan. Kawanku selalu berkata sebelum keberangkatanku, tak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua yang terjadi selalu punya alasan. Termasuk keputusan Allah akan keberangkatanmu ke Korea. Allah pasti ingin kau banyak belajar di sana, maka berikan lah hal terbaik yang bisa kau berikan di sana, ambil lah manfaat dari setiap detil hidupmu di sana. Itu akan menjadi bekalmu membangun negara ini.
Aku selalu ingat kata-katanya, maka aku jalani hidupku di sini dengan keyakinan bahwa setiap jengkal yang kujalani, terjadi karena Allah ingin aku belajar. Allah ingin aku mengambil hikmah. Allah ingin mengajariku bagaimana menjadi sosok muslimah tangguh di negeri orang agar aku lebih kuat. Dan kuyakin Allah tak akan pernah membiarkan aku sendirian meniti jalan ini.
Keputusan Allah berikutnya adalah soal penempatanku. Bukan. Aku bukan ditempatkan di kota besar seperti Seoul atau Pusan, dengan jumlah muslim yang kurasa lebih banyak. Aku diberi tempat di sebuah kota kecil bernama Jeonju. Bahkan aku menjadi satu-satunya muslimah yang berjilbab dari ribuan mahasiswa undergraduate di sini. Awalnya sungguh berat, tapi dengannya aku sadar, Allah ingin menjadikanku yang terspesial karena aku yang’berbeda’. Justru ini menjadi tempatku berdakwah agar mereka tahu, bahwa Islam agama yang damai. Islam adalah agama yang indah dan Allah ingin aku menjaga akhlakku karena aku adalah representasi muslimah di universitas ini. Lalu temanku selalu menghiburku, kau adalah wanita paling cantik di sana, maka jangan heran jika banyak mata selalu menatap padamu.
Aku juga menjadi satu-satunya muslim di kelasku, di tengah-tengah orang memiliki keyakinan berbeda. Maka dengannya aku belajar hidup bertoleransi. Membaur tanpa harus melebur. Seperti nilai-nilai yang selalu guruku tanamkan, moderat, open minded dan objektif. Tak perlu takut bergaul dengan mereka, justru hapuslah batas-batas yang membentengimu selama ini tanpa melupakan kewajibanmu sebagai muslim. Dengan begitu, mereka akan mengetahui, Islam bukan agama yang angkuh, Islam bukan sarang teroris seperti yang sering diberitakan media. Tapi Islam mengajarkan kita semua untuk berbuat baik terhadap sesama, bertutur kata yang sopan dan bisa hidup berdampingan dengan umat agama lain.
Allah menghadirkan orang-orang baik disekitarku. Meski tak bisa bertatap muka tapi mereka tak membiarkanku sendiri. Maka dengannya, aku sadar akan keindahan ukhuwah Islam. Dengan jalan itu juga, Allah menunjukkan keberadaannya. Iya. Aku tak sendirian. Di luar sana, banyak muslimah lain yang berjuang dengan caranya masing-masing. Berusaha menegakkan kalimat tauhid, tak lelah, meski terasing. Karena seharusnya kita memang yakin, kita tak akan pernah sendirian berjuang. Maka kenapa mesti takut terasing? Dan bukankah Islam memang dimulai dengan keterasingan?
Lalu dari keseluruhan hal yang kualami, aku makin menyadari, inti dari kebahagiaan hidup adalah bagaimana mensyukuri segala hal yang terjadi dalam hidup. Seringkali terlalu jauh kita mencari kebahagiaan, padahal kebahagiaan selalu ada bagi siapa saja yang bersyukur.
Masih pantaskah aku mengeluh? Bukankah Allah masih memberikan jutaan pilihan dalam hidupku? Aku masih bisa menikmati keindahan alam di belahan bumi lain. Menyaksikan terbit dan terbenamnya matahari di belahan bumi lain. Bernafas dengan oksigen dari pepohonan di belahan bumi lain. Melihat salju turun dan merasakannya menyentuh kulit ini. Melihat indahnya sakura dan tulip yang bermekaran lalu kembali berguguran.
Masih bolehkah aku mengeluh? Meski aku tak bisa makan sembarangan, tapi aku masih merasakan nikmatnya seafood, dan sumber daya alam lain yang luar biasa nikmat. Atau setidaknya, aku masih bisa merasakan nikmatnya rasa aman dan nyaman tinggal di negeri ginseng. Lihat lah saudara-saudara muslim di negara lain, Palestina, Afghanistan, yang bahkan bisa-bisa saja tiba-tiba terbunuh ketika hanya sedang duduk manis. Kalau begitu, apakah meraka bisa hidup dengan rasa aman dan nyaman? Aku pun masih bisa merasakan nikmatnya sholat berjamaah karena roommate-ku seorang muslim bahkan hingga puasa sunnah bersama. Sementara di luar sana, ku dengar seorang teman akhwat yang bahkan tak pernah melepas jilbabnya hingga ia tidur.
Perlukan aku mengeluh? Di tengah komunitas yang berpakaian mini, aku harus menutup seluruh tubuhku dengan kain, meski cuaca panas, meski semua orang menatap aneh padaku, meski teman-temanku tak bosan bertanya kapan aku akan melepasnya Padahal karenanya, Allah melindungiku. Tak satu pun berani mengajakku pergi ke night club, tak satu pun yang mengajakku pergi minum soju atau makkoli atau bahkan sekedar berpesta bersama karena dengan jilbab ini mereka tahu aku seorang Muslim. Mereka tahu aku tak boleh minum alkohol atau makan daging babi. Sungguh, bahkan mereka menghormatiku. Setiap kali minum bir di depanku, selalu ada kata maaf yang terucap dari mereka. Bahkan mereka tak sungkan memberitahuku jika ada makanan halal yang disuguhkan padaku.
Kurasa aku tak pantas mengeluh dengen kenikmatan yang banyak Allah berikan padaku dan segala keistimewaan yang dianugerahkannya padaku. Bahkan dengan jilbab ini, Allah ingin menjadikanku yang terbaik di kelas. Aku yang ‘berbeda’ tentu membuat dosen dikelas selalu mengingatku, setiap pertanyaan yang terlontar, namaku lah yang ia sebut. Maka itu kujadikan motivasi untuk terus belajar menjadi yang terbaik. Bukan kah dalam Islam pun, Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu? Dan atas kebaikan-Nya, Allah mengizinkanku mendapat nilai terbaik dalam ujian berbicara.
Pun karena jilbab ini, aku bertemu banyak orang baru yang sungguh heterogen. Begitu banyak orang yang menyapa meski aku tak mengenal mereka. Begitu banyak yang bertanya tentangku, tentang jilbabku, tentang Indonesia dan bahkan tentang Islam. Bahkan aku diminta menjadi salah satu model dalam video yang akan digunakan sebagai profil kampusku di website. Maka dengannya aku termotivasi untuk membaca lebih banyak lagi karena aku tak mau dianggap tak mengenali agama dan negaraku sendiri. Kini, kuanggap aku adalah duta bagi negeriku dan agamaku, maka sepatutnya aku harus menjaga kata-kata dan akhlakku.
Bukan hanya itu, Allah bahkan mengizinkanku mendapatkan hal yang lebih indah. Allah memberikanku kesempatan menjadi representasi mahasiswa asing untuk menerima penghargaan saat kelas tradisional Korea. Sebuah kebanggaan ketika sang MC memanggil namaku, -meski dengan dialek Korea, aku tahu itu namaku- dan bisa berdiri di atas panggung untuk menerima sertifikat di depan puluhan mahasiswa asing yang lain. Bukan atas kehebatanku semua ini terjadi, tapi karena Allah selalu punya cara unik untuk membuatku bertahan dalam keceriaan hidup di negeri asing ini.
Dan sepulangnya nanti ke Indonesia, aku akan belajar menjadi sosok yang lebih bersyukur. Di sana, sungguh kita terfasilitasi untuk ber-Islam dengan baik. Masjid yang begitu nyaman untuk beribadah, sehingga aku tak perlu lagi sholat di luar restoran atau di sela-sela tangga. Aku pun tak perlu lagi kebingungan mencari air untuk wudhu atau sampai menaikkan kaki ke wastafel. Tak ada lagi pagi yang begitu dingin sehingga membuatku terlalu nyaman untuk tidur.
Belum lagi homogenitas di Indonesia, sungguh nikmat bisa beribadah berjamaah. Bangun dini hari bersama, Qiyamul Lail bersama, sahur bersama meski hanya dengan sebungkus mie instan. Berada di tengah orang-orang yang sejak bangun hingga tidurku selalu mengingatkanku pada-Nya. Ada di tengah sahabat yang saat jalanku tak lurus, mereka akan menarikku kembali ke jalan-Nya dan selalu siap mengulurkan tangannya saat aku membutuhkan mereka. Selalu menghiasiku dengan senyuman indah dan kata-kata yang menyejukkan. Berbagi kisah tentang perjuangan di kampus tercinta yang dulu mungkin tak begitu terasa nikmatnya. Tapi saat kubayangkan itu setelah sesampainya aku di Korea, aku sadar, dulu sepertinya aku kurang bersyukur.
Maka dengan berjuangnya aku di negeri ginseng ini, aku tahu, Allah ingin menjadikanku lebih dewasa, membuatku menjadi sosok yang lebih mandiri. Tak ada lagi yang membangunkanku untuk Qiyamul Lail, kecuali alarm dari handphone yang berisik. Meski lebih sering niatku lah yang pada akhirnya membangunkanku. Tak ada lagi yang mengingatkanku untuk menyegerakan sholat, melainkan kerinduanku akan-Nya dan buatku itu juga lah satu-satunya jalan untuk menyalurkan rinduku pada keluarga dan sahabat. Allah sungguh Maha Baik. Allah memberikan jalan yang unik bagiku untuk membuatku menjadi sosok manusia, anak, adik, sahabat dan muslim yang lebih baik. Allah memberikan cara yang berbeda untuk menguji keimananku, seperti sebuah sekolah, levelku akan naik jika kumampu melampauinya. Maka apa lagi yang perlu kutakutkan dengan menjadi minoritas di negeri asing ini? Tak ada. Karena kuyakin semuanya hanya akan menjadikanku sosok yang lebih kuat. Aku bahkan bangga, meski amanah ini berat, aku adalah representasi muslimah di negeri orang. I’m a Moslem and I’m proud to be Moslem!
Aku dilahirkan atas karunia-Nya. Aku hidup atas kasih sayang-Nya. Aku ada di negeri ginseng ini atas kebaikan-Nya. Maka aku akan bertahan di sini karena-Nya.
Pengumuman mendadak tentang keberangkatan ke Korea sungguh kabar yang mengagetkan dan juga menggembirakan. Hanya selang satu bulan. Kawanku selalu berkata sebelum keberangkatanku, tak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua yang terjadi selalu punya alasan. Termasuk keputusan Allah akan keberangkatanmu ke Korea. Allah pasti ingin kau banyak belajar di sana, maka berikan lah hal terbaik yang bisa kau berikan di sana, ambil lah manfaat dari setiap detil hidupmu di sana. Itu akan menjadi bekalmu membangun negara ini.
Aku selalu ingat kata-katanya, maka aku jalani hidupku di sini dengan keyakinan bahwa setiap jengkal yang kujalani, terjadi karena Allah ingin aku belajar. Allah ingin aku mengambil hikmah. Allah ingin mengajariku bagaimana menjadi sosok muslimah tangguh di negeri orang agar aku lebih kuat. Dan kuyakin Allah tak akan pernah membiarkan aku sendirian meniti jalan ini.
Keputusan Allah berikutnya adalah soal penempatanku. Bukan. Aku bukan ditempatkan di kota besar seperti Seoul atau Pusan, dengan jumlah muslim yang kurasa lebih banyak. Aku diberi tempat di sebuah kota kecil bernama Jeonju. Bahkan aku menjadi satu-satunya muslimah yang berjilbab dari ribuan mahasiswa undergraduate di sini. Awalnya sungguh berat, tapi dengannya aku sadar, Allah ingin menjadikanku yang terspesial karena aku yang’berbeda’. Justru ini menjadi tempatku berdakwah agar mereka tahu, bahwa Islam agama yang damai. Islam adalah agama yang indah dan Allah ingin aku menjaga akhlakku karena aku adalah representasi muslimah di universitas ini. Lalu temanku selalu menghiburku, kau adalah wanita paling cantik di sana, maka jangan heran jika banyak mata selalu menatap padamu.
Aku juga menjadi satu-satunya muslim di kelasku, di tengah-tengah orang memiliki keyakinan berbeda. Maka dengannya aku belajar hidup bertoleransi. Membaur tanpa harus melebur. Seperti nilai-nilai yang selalu guruku tanamkan, moderat, open minded dan objektif. Tak perlu takut bergaul dengan mereka, justru hapuslah batas-batas yang membentengimu selama ini tanpa melupakan kewajibanmu sebagai muslim. Dengan begitu, mereka akan mengetahui, Islam bukan agama yang angkuh, Islam bukan sarang teroris seperti yang sering diberitakan media. Tapi Islam mengajarkan kita semua untuk berbuat baik terhadap sesama, bertutur kata yang sopan dan bisa hidup berdampingan dengan umat agama lain.
Allah menghadirkan orang-orang baik disekitarku. Meski tak bisa bertatap muka tapi mereka tak membiarkanku sendiri. Maka dengannya, aku sadar akan keindahan ukhuwah Islam. Dengan jalan itu juga, Allah menunjukkan keberadaannya. Iya. Aku tak sendirian. Di luar sana, banyak muslimah lain yang berjuang dengan caranya masing-masing. Berusaha menegakkan kalimat tauhid, tak lelah, meski terasing. Karena seharusnya kita memang yakin, kita tak akan pernah sendirian berjuang. Maka kenapa mesti takut terasing? Dan bukankah Islam memang dimulai dengan keterasingan?
Lalu dari keseluruhan hal yang kualami, aku makin menyadari, inti dari kebahagiaan hidup adalah bagaimana mensyukuri segala hal yang terjadi dalam hidup. Seringkali terlalu jauh kita mencari kebahagiaan, padahal kebahagiaan selalu ada bagi siapa saja yang bersyukur.
Masih pantaskah aku mengeluh? Bukankah Allah masih memberikan jutaan pilihan dalam hidupku? Aku masih bisa menikmati keindahan alam di belahan bumi lain. Menyaksikan terbit dan terbenamnya matahari di belahan bumi lain. Bernafas dengan oksigen dari pepohonan di belahan bumi lain. Melihat salju turun dan merasakannya menyentuh kulit ini. Melihat indahnya sakura dan tulip yang bermekaran lalu kembali berguguran.
Masih bolehkah aku mengeluh? Meski aku tak bisa makan sembarangan, tapi aku masih merasakan nikmatnya seafood, dan sumber daya alam lain yang luar biasa nikmat. Atau setidaknya, aku masih bisa merasakan nikmatnya rasa aman dan nyaman tinggal di negeri ginseng. Lihat lah saudara-saudara muslim di negara lain, Palestina, Afghanistan, yang bahkan bisa-bisa saja tiba-tiba terbunuh ketika hanya sedang duduk manis. Kalau begitu, apakah meraka bisa hidup dengan rasa aman dan nyaman? Aku pun masih bisa merasakan nikmatnya sholat berjamaah karena roommate-ku seorang muslim bahkan hingga puasa sunnah bersama. Sementara di luar sana, ku dengar seorang teman akhwat yang bahkan tak pernah melepas jilbabnya hingga ia tidur.
Perlukan aku mengeluh? Di tengah komunitas yang berpakaian mini, aku harus menutup seluruh tubuhku dengan kain, meski cuaca panas, meski semua orang menatap aneh padaku, meski teman-temanku tak bosan bertanya kapan aku akan melepasnya Padahal karenanya, Allah melindungiku. Tak satu pun berani mengajakku pergi ke night club, tak satu pun yang mengajakku pergi minum soju atau makkoli atau bahkan sekedar berpesta bersama karena dengan jilbab ini mereka tahu aku seorang Muslim. Mereka tahu aku tak boleh minum alkohol atau makan daging babi. Sungguh, bahkan mereka menghormatiku. Setiap kali minum bir di depanku, selalu ada kata maaf yang terucap dari mereka. Bahkan mereka tak sungkan memberitahuku jika ada makanan halal yang disuguhkan padaku.
Kurasa aku tak pantas mengeluh dengen kenikmatan yang banyak Allah berikan padaku dan segala keistimewaan yang dianugerahkannya padaku. Bahkan dengan jilbab ini, Allah ingin menjadikanku yang terbaik di kelas. Aku yang ‘berbeda’ tentu membuat dosen dikelas selalu mengingatku, setiap pertanyaan yang terlontar, namaku lah yang ia sebut. Maka itu kujadikan motivasi untuk terus belajar menjadi yang terbaik. Bukan kah dalam Islam pun, Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu? Dan atas kebaikan-Nya, Allah mengizinkanku mendapat nilai terbaik dalam ujian berbicara.
Pun karena jilbab ini, aku bertemu banyak orang baru yang sungguh heterogen. Begitu banyak orang yang menyapa meski aku tak mengenal mereka. Begitu banyak yang bertanya tentangku, tentang jilbabku, tentang Indonesia dan bahkan tentang Islam. Bahkan aku diminta menjadi salah satu model dalam video yang akan digunakan sebagai profil kampusku di website. Maka dengannya aku termotivasi untuk membaca lebih banyak lagi karena aku tak mau dianggap tak mengenali agama dan negaraku sendiri. Kini, kuanggap aku adalah duta bagi negeriku dan agamaku, maka sepatutnya aku harus menjaga kata-kata dan akhlakku.
Bukan hanya itu, Allah bahkan mengizinkanku mendapatkan hal yang lebih indah. Allah memberikanku kesempatan menjadi representasi mahasiswa asing untuk menerima penghargaan saat kelas tradisional Korea. Sebuah kebanggaan ketika sang MC memanggil namaku, -meski dengan dialek Korea, aku tahu itu namaku- dan bisa berdiri di atas panggung untuk menerima sertifikat di depan puluhan mahasiswa asing yang lain. Bukan atas kehebatanku semua ini terjadi, tapi karena Allah selalu punya cara unik untuk membuatku bertahan dalam keceriaan hidup di negeri asing ini.
Dan sepulangnya nanti ke Indonesia, aku akan belajar menjadi sosok yang lebih bersyukur. Di sana, sungguh kita terfasilitasi untuk ber-Islam dengan baik. Masjid yang begitu nyaman untuk beribadah, sehingga aku tak perlu lagi sholat di luar restoran atau di sela-sela tangga. Aku pun tak perlu lagi kebingungan mencari air untuk wudhu atau sampai menaikkan kaki ke wastafel. Tak ada lagi pagi yang begitu dingin sehingga membuatku terlalu nyaman untuk tidur.
Belum lagi homogenitas di Indonesia, sungguh nikmat bisa beribadah berjamaah. Bangun dini hari bersama, Qiyamul Lail bersama, sahur bersama meski hanya dengan sebungkus mie instan. Berada di tengah orang-orang yang sejak bangun hingga tidurku selalu mengingatkanku pada-Nya. Ada di tengah sahabat yang saat jalanku tak lurus, mereka akan menarikku kembali ke jalan-Nya dan selalu siap mengulurkan tangannya saat aku membutuhkan mereka. Selalu menghiasiku dengan senyuman indah dan kata-kata yang menyejukkan. Berbagi kisah tentang perjuangan di kampus tercinta yang dulu mungkin tak begitu terasa nikmatnya. Tapi saat kubayangkan itu setelah sesampainya aku di Korea, aku sadar, dulu sepertinya aku kurang bersyukur.
Maka dengan berjuangnya aku di negeri ginseng ini, aku tahu, Allah ingin menjadikanku lebih dewasa, membuatku menjadi sosok yang lebih mandiri. Tak ada lagi yang membangunkanku untuk Qiyamul Lail, kecuali alarm dari handphone yang berisik. Meski lebih sering niatku lah yang pada akhirnya membangunkanku. Tak ada lagi yang mengingatkanku untuk menyegerakan sholat, melainkan kerinduanku akan-Nya dan buatku itu juga lah satu-satunya jalan untuk menyalurkan rinduku pada keluarga dan sahabat. Allah sungguh Maha Baik. Allah memberikan jalan yang unik bagiku untuk membuatku menjadi sosok manusia, anak, adik, sahabat dan muslim yang lebih baik. Allah memberikan cara yang berbeda untuk menguji keimananku, seperti sebuah sekolah, levelku akan naik jika kumampu melampauinya. Maka apa lagi yang perlu kutakutkan dengan menjadi minoritas di negeri asing ini? Tak ada. Karena kuyakin semuanya hanya akan menjadikanku sosok yang lebih kuat. Aku bahkan bangga, meski amanah ini berat, aku adalah representasi muslimah di negeri orang. I’m a Moslem and I’m proud to be Moslem!
Label:
lomba menulis,
ppm imuska


Rabu, 01 Juni 2011
Belajar Berbaur Tanpa Harus Melebur
Oleh: Citra Amaliyah - Jeonju [Juara 1 Lomba Esai PPM-Imuska]
Awalnya sungguh tak menyangka begitu berat hari yang harus dilalui ketika sendirian berada di negeri orang. Saya sendirian mewakili kampus untuk program pertukaran pelajar di Korea, bukan di Seoul, Busan atau kota besar lainnya. Saya ditempatkan di sebuah kota kecil bernama Jeonju. Hari pertama saya di Korea, saya benar-benar seorang diri, itu pun sudah beruntung saya bisa sampai di Jeonju dengan selamat. Hari itu suhu masih sekitar minus 2 derajat celcius.
Ketika sampai di kampus baru saya, puluhan mata yang saat itu menghadiri orientasi tertuju pada saya. Congratulation! Saya menjadi satu-satunya orang yang berjilbab di sana. Beruntungnya saat keesokan harinya Allah mempertemukan saya dengan orang Indonesia, bukan hanya satu tapi sekaligus 5 (dan akhirnya memang hanya ada 6) orang Indonesia di kampus saya.
Di sini lah petualangan baru dimulai. Beasiswa saya mengharuskan saya untuk makan di kafetaria dorm. Setiap kali waktu makan tiba dengan terpaksa saya pergi ke kafetaria, dan saat itulah orang-orang tak cukup hanya memandang tapi juga menoleh pada saya. Tak cukup sampai di situ, mereka lalu akan berbisik-bisik dengan teman satu geng-nya sambil melirik-lirik. Rasanya risih sekali.
Belum lagi soal makanan, bahasa Korea saya yang sangat nol tidak memungkinkan saya untuk membaca menu apa yang disediakan di sana, apalagi mengenai bahan baku makanannya. Saya ingat sekali, hampir setiap hari saya hanya makan sayur selama satu minggu, dan saya selau hampir menangis setiap waktu makan tiba.
Tapi ternyata Allah sungguh Maha Baik, di tengah-tengah kesulitan itu, saya menerima beberapa message di facebook maupun email dari muslim Indonesia yang berada di Korea, isinya macam-macam, mulai dari berkenalan, memberi semangat, memberi tahu makanan-makanan halal, menghajak hadir dalam majelis ilmu, membantu men-translate untuk bertanya apakah makanan tersebut halal bahkan sampai ada yang rela men-share beasiswa jika saya kesulitan. Saya sungguh takjub dengan ukhuwah Islam di sini. Ada juga yang menawari saya untuk datang ke rumahnya dan masak makanan Indonesia. Sungguh saya tak lagi merasa sendiri di sini. Keindahan ukhuwah Islam kian lama kian saya rasakan, dari keenam orang Indonesia, empat diantaranya adalah muslim, sering kali kami juga menghabiskan akhir pekan bersama berkeliling Jeonju. Atau sekedar mencari makanan halal di luar sana.
Selain itu, di negara yang penuh perbedaan ini, makin hari saya justru makin mem-“bebal”-kan diri saya dengan pandangan dan perkataan orang. Hari itu ada jadwal orientasi untuk Korean Buddy, jadi ceritanya saya akan punya seorang teman Korea untuk belajar bahasa dan budaya. Dengan percaya diri saya datang menggunakan rok batik coklat a la Indonesia. Tapi sayangnya Korean Buddy saya justru tak hadir padahal saya begitu excited hadir dalam acara tersebut. Tapi sebelum saya pulang dengan kecewa, tiba-tiba ada seorang perempuang Korea yang menghampiri saya dan mengajak saya berfoto untuk profil CBNU, kampus saya. Akhirnya tawaran itu saya iyakan.
Saya kira, ini hanya sesi foto biasa yang hanya memakan waktu 10 menit. Tapi saya salah, ketika mendatangi tempat foto, di sana banyak sekali peralatan dan kru yang sudah menunggu. Ternyata ini tak sekedar foto tapi juga salah satu scene untuk video profile CBNU. Di sana juga sudah ada 4 orang teman dari Perancis, 4 orang dari Korea dan 2 orang dari Laos. Kami semua yang akan menjadi model dalam video itu. Ada juga sesi pengambilan gambar untuk 2 orang. Dan karena saya yang ‘berbeda’, saya pada akhirnya di tunjuk menjadi model bersama seorang teman dari Perancis. Lalu sejak saat itu saya sadar, menjadi berbeda justru membuat saya menjadi unik dan spesial.
Setelah itu, teman yang saya miliki di Korea semakin banyak, meski begitu banyak perbedaan yang ada. Mereka sungguh baik pada saya bahkan kadang kala justru mereka berinisiatif memberi tahu saya makanan-makanan yang boleh saya makan. Entah kenapa saya justru sedih karena saya membaca beberapa berita dari Indonesia. Di negeri tercinta saya, justru banyak terjadi kekerasan atas nama agama. Sementara saya di sini, bisa hidup rukun dan berdampingan meski berbeda bahasa dan budaya. Kenapa dengan bahasa dan akar budaya yang sama kita tak mampu saling memahami? Bukan kah Islam pun agama yang mengajarkan cinta kasih terhadap sesama? Yah, saya harus bersyukur, meski saya berbeda mereka bisa menerima dan menghargai perbedaan yang ada.
Minggu berikutnya di Korea, saat sedang sibuk bertanya tentang ke’halal’an makanan pada pegawai kafetaria, tiba-tiba seorang lelaki berwajah oriental menegur saya dan bertanya “Apakah kamu muslim?” Lalu saya jawab iya. Dan alangkah terkejutnya ketika dia mengucapkan Assalamu’alaikum lalu dia pun bercerita kalau dia juga seorang muslim. Meski asli China, akan tetapi dia lahir di keluarga muslim. Subhanallah, unik sekali rasanya melihat muslim berwajah oriental. Akhirnya kami makan di meja yang sama. Ketika saya selesai berdoa sebelum makan, saya mendengarnya mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim. Rasa norak dan takjub saya kembali muncul. Saya ingat pelajaran agama Islam waktu SMA dulu, guru saya selalu bilang Islam adalah agama universal. Dan ini adalah salah satu tanda bahwa Islam memang agama universal, buktinya di negara mana pun salamnya tetap Assalamu’alaikum dan sebelum melakukan kegiatan apa pun bacaannya tetap basmalah.
Setelah di pikir-pikir, banyaknya perbedaan yang ada justru menjadi ladang amal bagi saya. Bagaimana tidak, setelah masuk kelas selama 3 minggu, saya mulai dekat dengan teman-teman sekelas. Saat itu mereka akhirinya mulai berani bertanya tentang jilbab saya. Awalnya mulai dari pertanyaan iseng mereka, “dda berapa jumlah kain kepala yang kamu punya?” Akhirnya dengan iseng saya menghitungnya ketika sampai di asrama. Saat saya bercerita saya memiliki 20 puluh jilbab, mereka takjub dan ber-oh lantas berkata, pantas saja saya lihat setiap hari warnanya selalu berbeda. Saya ingat nasehat salah satu teman saya bahwa salah satu cara berdakwah adalah dengan berpakaian yang baik. Jadilah muslimah yang fashionable tapi tetap syar’i, begitu katanya. Setidaknya berpakaian yang rapih dan matching, jangan sampai jilbabnya berwarna merah dan bajunya hijau. Karena kita tidak sedang membawa citra pribadi kita tapi kita juga menampilkan citra Islam di mata dunia.
Tak hanya mahasiswa lain yang memperhatikan warna jilbab saya yang berbeda-beda bahkan dosen yang mengajar saya pun selalu melihat ke arah saya setiap kali saya masuk kelas. Lalu beliau pasti berkat, ah different color, yepoyyo. Jadi lah saya mahasiswa paling dihafal seantero kelas. Dan sering kali lontaran-lontaran pertanyaan berujung pada saya. Baik lah, itu saya jadikan motivasi untuk lebih rajin belajar lagi.
Kemudian di penghujung minggu ketiga saya di Korea, kelas kami kedatangan empat teman baru dan karena mereka belum punya buku, saya menawarkan diri untuk mengantar mereka ke bookstore. Di tengah perjalanan menuju toko buku mereka mulai bercerita macam-macam, mulai dari bercerita tentang negara mereka sampai tentang kegiatan pesta soju mereka kemarin sampai salah satu di antara mereka mabuk berat dan berkata kasar. Astagfirullah. Padahal usia mereka masih sebaya dengan saya bahkan lebih muda. Tapi di usia mudanya, kehidupan mereka justru dipenuhi dengan kehidupan yang hedonis, minum-minum, dan karaoke.
Akan tetapi, dalam pergaulan, mereka anak-anak yang sangat baik. Bahkan belakangan ini justru mereka yang menjadi teman-teman terdekatku di kelas. Mereka sangat menghargai saya sebagai muslim, dan menjaga kata-kata mereka saat di depan saya. Kadang kala saya sendiri merasa geli melihat ekspresi kaget mereka karena tahu banyak hal yang mereka pikir saya tidak akan tahu. Ketika mereka bertanya apakah saya tahu bar, saya jawab saya tahu meski saya tak pernah ke sana. Saya tahu Lady Gaga meski saya tak suka mendengar lagunya dan saya juga suka menonton film bahkan saya menonton banyak film Hollywood. Saya jelaskan pada mereka meski saya muslim dan berjilbab bukan berarti saya tidak tahu kehidupan dunia luar. Dan ketika saya berinteraksi dengan dunia luar tak berarti saya meninggalkan agama saya karena sesungguhnya kita tak bisa memisahkan kehidupan agama dari kehidupan kita sehari-hari. Maka berbaur lah tanpa harus melebur dan berbangga lah menjadi minoritas di negara ginseng ini…
Awalnya sungguh tak menyangka begitu berat hari yang harus dilalui ketika sendirian berada di negeri orang. Saya sendirian mewakili kampus untuk program pertukaran pelajar di Korea, bukan di Seoul, Busan atau kota besar lainnya. Saya ditempatkan di sebuah kota kecil bernama Jeonju. Hari pertama saya di Korea, saya benar-benar seorang diri, itu pun sudah beruntung saya bisa sampai di Jeonju dengan selamat. Hari itu suhu masih sekitar minus 2 derajat celcius.
Ketika sampai di kampus baru saya, puluhan mata yang saat itu menghadiri orientasi tertuju pada saya. Congratulation! Saya menjadi satu-satunya orang yang berjilbab di sana. Beruntungnya saat keesokan harinya Allah mempertemukan saya dengan orang Indonesia, bukan hanya satu tapi sekaligus 5 (dan akhirnya memang hanya ada 6) orang Indonesia di kampus saya.
Di sini lah petualangan baru dimulai. Beasiswa saya mengharuskan saya untuk makan di kafetaria dorm. Setiap kali waktu makan tiba dengan terpaksa saya pergi ke kafetaria, dan saat itulah orang-orang tak cukup hanya memandang tapi juga menoleh pada saya. Tak cukup sampai di situ, mereka lalu akan berbisik-bisik dengan teman satu geng-nya sambil melirik-lirik. Rasanya risih sekali.
Belum lagi soal makanan, bahasa Korea saya yang sangat nol tidak memungkinkan saya untuk membaca menu apa yang disediakan di sana, apalagi mengenai bahan baku makanannya. Saya ingat sekali, hampir setiap hari saya hanya makan sayur selama satu minggu, dan saya selau hampir menangis setiap waktu makan tiba.
Tapi ternyata Allah sungguh Maha Baik, di tengah-tengah kesulitan itu, saya menerima beberapa message di facebook maupun email dari muslim Indonesia yang berada di Korea, isinya macam-macam, mulai dari berkenalan, memberi semangat, memberi tahu makanan-makanan halal, menghajak hadir dalam majelis ilmu, membantu men-translate untuk bertanya apakah makanan tersebut halal bahkan sampai ada yang rela men-share beasiswa jika saya kesulitan. Saya sungguh takjub dengan ukhuwah Islam di sini. Ada juga yang menawari saya untuk datang ke rumahnya dan masak makanan Indonesia. Sungguh saya tak lagi merasa sendiri di sini. Keindahan ukhuwah Islam kian lama kian saya rasakan, dari keenam orang Indonesia, empat diantaranya adalah muslim, sering kali kami juga menghabiskan akhir pekan bersama berkeliling Jeonju. Atau sekedar mencari makanan halal di luar sana.
Selain itu, di negara yang penuh perbedaan ini, makin hari saya justru makin mem-“bebal”-kan diri saya dengan pandangan dan perkataan orang. Hari itu ada jadwal orientasi untuk Korean Buddy, jadi ceritanya saya akan punya seorang teman Korea untuk belajar bahasa dan budaya. Dengan percaya diri saya datang menggunakan rok batik coklat a la Indonesia. Tapi sayangnya Korean Buddy saya justru tak hadir padahal saya begitu excited hadir dalam acara tersebut. Tapi sebelum saya pulang dengan kecewa, tiba-tiba ada seorang perempuang Korea yang menghampiri saya dan mengajak saya berfoto untuk profil CBNU, kampus saya. Akhirnya tawaran itu saya iyakan.
Saya kira, ini hanya sesi foto biasa yang hanya memakan waktu 10 menit. Tapi saya salah, ketika mendatangi tempat foto, di sana banyak sekali peralatan dan kru yang sudah menunggu. Ternyata ini tak sekedar foto tapi juga salah satu scene untuk video profile CBNU. Di sana juga sudah ada 4 orang teman dari Perancis, 4 orang dari Korea dan 2 orang dari Laos. Kami semua yang akan menjadi model dalam video itu. Ada juga sesi pengambilan gambar untuk 2 orang. Dan karena saya yang ‘berbeda’, saya pada akhirnya di tunjuk menjadi model bersama seorang teman dari Perancis. Lalu sejak saat itu saya sadar, menjadi berbeda justru membuat saya menjadi unik dan spesial.
Setelah itu, teman yang saya miliki di Korea semakin banyak, meski begitu banyak perbedaan yang ada. Mereka sungguh baik pada saya bahkan kadang kala justru mereka berinisiatif memberi tahu saya makanan-makanan yang boleh saya makan. Entah kenapa saya justru sedih karena saya membaca beberapa berita dari Indonesia. Di negeri tercinta saya, justru banyak terjadi kekerasan atas nama agama. Sementara saya di sini, bisa hidup rukun dan berdampingan meski berbeda bahasa dan budaya. Kenapa dengan bahasa dan akar budaya yang sama kita tak mampu saling memahami? Bukan kah Islam pun agama yang mengajarkan cinta kasih terhadap sesama? Yah, saya harus bersyukur, meski saya berbeda mereka bisa menerima dan menghargai perbedaan yang ada.
Minggu berikutnya di Korea, saat sedang sibuk bertanya tentang ke’halal’an makanan pada pegawai kafetaria, tiba-tiba seorang lelaki berwajah oriental menegur saya dan bertanya “Apakah kamu muslim?” Lalu saya jawab iya. Dan alangkah terkejutnya ketika dia mengucapkan Assalamu’alaikum lalu dia pun bercerita kalau dia juga seorang muslim. Meski asli China, akan tetapi dia lahir di keluarga muslim. Subhanallah, unik sekali rasanya melihat muslim berwajah oriental. Akhirnya kami makan di meja yang sama. Ketika saya selesai berdoa sebelum makan, saya mendengarnya mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim. Rasa norak dan takjub saya kembali muncul. Saya ingat pelajaran agama Islam waktu SMA dulu, guru saya selalu bilang Islam adalah agama universal. Dan ini adalah salah satu tanda bahwa Islam memang agama universal, buktinya di negara mana pun salamnya tetap Assalamu’alaikum dan sebelum melakukan kegiatan apa pun bacaannya tetap basmalah.
Setelah di pikir-pikir, banyaknya perbedaan yang ada justru menjadi ladang amal bagi saya. Bagaimana tidak, setelah masuk kelas selama 3 minggu, saya mulai dekat dengan teman-teman sekelas. Saat itu mereka akhirinya mulai berani bertanya tentang jilbab saya. Awalnya mulai dari pertanyaan iseng mereka, “dda berapa jumlah kain kepala yang kamu punya?” Akhirnya dengan iseng saya menghitungnya ketika sampai di asrama. Saat saya bercerita saya memiliki 20 puluh jilbab, mereka takjub dan ber-oh lantas berkata, pantas saja saya lihat setiap hari warnanya selalu berbeda. Saya ingat nasehat salah satu teman saya bahwa salah satu cara berdakwah adalah dengan berpakaian yang baik. Jadilah muslimah yang fashionable tapi tetap syar’i, begitu katanya. Setidaknya berpakaian yang rapih dan matching, jangan sampai jilbabnya berwarna merah dan bajunya hijau. Karena kita tidak sedang membawa citra pribadi kita tapi kita juga menampilkan citra Islam di mata dunia.
Tak hanya mahasiswa lain yang memperhatikan warna jilbab saya yang berbeda-beda bahkan dosen yang mengajar saya pun selalu melihat ke arah saya setiap kali saya masuk kelas. Lalu beliau pasti berkat, ah different color, yepoyyo. Jadi lah saya mahasiswa paling dihafal seantero kelas. Dan sering kali lontaran-lontaran pertanyaan berujung pada saya. Baik lah, itu saya jadikan motivasi untuk lebih rajin belajar lagi.
Kemudian di penghujung minggu ketiga saya di Korea, kelas kami kedatangan empat teman baru dan karena mereka belum punya buku, saya menawarkan diri untuk mengantar mereka ke bookstore. Di tengah perjalanan menuju toko buku mereka mulai bercerita macam-macam, mulai dari bercerita tentang negara mereka sampai tentang kegiatan pesta soju mereka kemarin sampai salah satu di antara mereka mabuk berat dan berkata kasar. Astagfirullah. Padahal usia mereka masih sebaya dengan saya bahkan lebih muda. Tapi di usia mudanya, kehidupan mereka justru dipenuhi dengan kehidupan yang hedonis, minum-minum, dan karaoke.
Akan tetapi, dalam pergaulan, mereka anak-anak yang sangat baik. Bahkan belakangan ini justru mereka yang menjadi teman-teman terdekatku di kelas. Mereka sangat menghargai saya sebagai muslim, dan menjaga kata-kata mereka saat di depan saya. Kadang kala saya sendiri merasa geli melihat ekspresi kaget mereka karena tahu banyak hal yang mereka pikir saya tidak akan tahu. Ketika mereka bertanya apakah saya tahu bar, saya jawab saya tahu meski saya tak pernah ke sana. Saya tahu Lady Gaga meski saya tak suka mendengar lagunya dan saya juga suka menonton film bahkan saya menonton banyak film Hollywood. Saya jelaskan pada mereka meski saya muslim dan berjilbab bukan berarti saya tidak tahu kehidupan dunia luar. Dan ketika saya berinteraksi dengan dunia luar tak berarti saya meninggalkan agama saya karena sesungguhnya kita tak bisa memisahkan kehidupan agama dari kehidupan kita sehari-hari. Maka berbaur lah tanpa harus melebur dan berbangga lah menjadi minoritas di negara ginseng ini…
Label:
lomba menulis,
pemenang,
ppm imuska


Rabu, 06 April 2011
LOMBA MENULIS MUSLIMAH INDONESIA !!!
Bagi seluruh Muslimah Indonesia yang tinggal di Korea
Muslimah yang cantik di luar dan cantik di dalam, tentu banyak pengalaman menarik yang dialami Sahabat Muslimah sekalian selama tinggal di Korea. Budaya, makanan, dan gaya hidup yang berbeda dengan negara asal kita yang mayoritasnya berpenduduk Muslim tentu menjadi buah bibir yang tiada habis-habisnya. Apalagi jika menyangkut soal bagaimana kita sebagai Muslimah mempertahankan jati diri kita di tengah masyarakat sekuler dan hedonis seperti negeri ‘Pagi nan Tenteram’ ini.
Ingin berbagi pengalaman menarik sekaligus mendapat hadiah?
Ayo ikutilah lomba esai Muslimah Indonesia ini!
Divisi Humas PPM-Imuska [Pemuliaan dan Pemberdayaan Muslimah-Indonesian Muslim Society in Korea) mengadakan lomba esai tentang pengalaman Muslimah sekalian selama berada di Korea dengan tema “Bangga BerIslam di Tengah Keterbatasan”.
Tiga esai yang terbaik akan mendapatkan hadiah berupa:
- Esai Terbaik I :
Paket buku [Fiqh Sunnah Wanita, Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim, Jangan Mau Gak Nulis Seumur Hidup, Zero to Hero] dan paket jilbab cantik
- Esai Terbaik II :
Paket buku [35 Shirah Shahabiyah, How To Be A Smart Writer, Agar Bidadari Cemburu Padamu] dan paket jilbab cantik
- Esai Terbaik III :
Paket buku [ Riyadhu As-Shalihat: Taman Wanita-Wanita Sholehah, Uddatush Shabirin]
Lebih jelas mengenai ketentuannya bisa dibaca di bawah ini:
1. Lomba ini khusus untuk Muslimah Indonesia yang sedang tinggal di Korea.
2. Judul esai dibuat semenarik mungkin.
3. Esai ditulis dengan menggunakan bahasa yang santun.
4. Format penulisan doc/docx, ukuran A4, spasi 1, font Times New Roman ukuran 12, jumlah kata 1200-1500.
5. Peserta diwajibkan mengisi biodata yang file-nya bisa di-download di attachment.
6. Esai tidak pernah dipublikasikan di media cetak/elektronik mana pun dan merupakan karya pribadi asli (bukan jiplakan).
7. Esai tidak mengandung unsur SARA.
8. Kirim esai ke lombaesaiimuska@gmail.com, pembukaan lomba esai dimulai pada 7 April 2011 dan akan ditutup pada tanggal 30 April 2011 pukul 24.00 KST.
9. Setiap peserta diperbolehkan mengirim lebih dari satu karya.
10. Karya yang masuk menjadi hak milik PPM-Imuska.
11. Tim Juri yang akan menyeleksi esai sebanyak 3 orang, yaitu: Ka Bati (Jurnalis), Ariesa Ulfa (Ketua PPM-Imuska), Deasy Rosalina (Ko. Divisi Humas PPM-Imuska)
12. Keputusan dewan juri tidak bisa diganggu gugat.
13. Pengumuman pemenang diumumkan pada saat Muslimah Gathering III dan selanjutnya akan dipublish melalui milis muslimahindonesia@yahoogroups.com, moslemkorea@yahoogroups.com, website ppm imuska di http://muslimahkorea.multiply.com ,http://ppmimuska.wordpress.com, dan http://imuska.org
Jangan lewatkan momen ini yaaa...sekaligus sebagai wadah untuk saling mengenal di antara Muslimah Indonesia yang tinggal di Korea. Salam hangat musim semi! Ditunggu karya terbaiknya^^
-TIM Humas PPM-Imuska-
Muslimah yang cantik di luar dan cantik di dalam, tentu banyak pengalaman menarik yang dialami Sahabat Muslimah sekalian selama tinggal di Korea. Budaya, makanan, dan gaya hidup yang berbeda dengan negara asal kita yang mayoritasnya berpenduduk Muslim tentu menjadi buah bibir yang tiada habis-habisnya. Apalagi jika menyangkut soal bagaimana kita sebagai Muslimah mempertahankan jati diri kita di tengah masyarakat sekuler dan hedonis seperti negeri ‘Pagi nan Tenteram’ ini.
Ingin berbagi pengalaman menarik sekaligus mendapat hadiah?
Ayo ikutilah lomba esai Muslimah Indonesia ini!
Divisi Humas PPM-Imuska [Pemuliaan dan Pemberdayaan Muslimah-Indonesian Muslim Society in Korea) mengadakan lomba esai tentang pengalaman Muslimah sekalian selama berada di Korea dengan tema “Bangga BerIslam di Tengah Keterbatasan”.
Tiga esai yang terbaik akan mendapatkan hadiah berupa:
- Esai Terbaik I :
Paket buku [Fiqh Sunnah Wanita, Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim, Jangan Mau Gak Nulis Seumur Hidup, Zero to Hero] dan paket jilbab cantik
- Esai Terbaik II :
Paket buku [35 Shirah Shahabiyah, How To Be A Smart Writer, Agar Bidadari Cemburu Padamu] dan paket jilbab cantik
- Esai Terbaik III :
Paket buku [ Riyadhu As-Shalihat: Taman Wanita-Wanita Sholehah, Uddatush Shabirin]
Lebih jelas mengenai ketentuannya bisa dibaca di bawah ini:
1. Lomba ini khusus untuk Muslimah Indonesia yang sedang tinggal di Korea.
2. Judul esai dibuat semenarik mungkin.
3. Esai ditulis dengan menggunakan bahasa yang santun.
4. Format penulisan doc/docx, ukuran A4, spasi 1, font Times New Roman ukuran 12, jumlah kata 1200-1500.
5. Peserta diwajibkan mengisi biodata yang file-nya bisa di-download di attachment.
6. Esai tidak pernah dipublikasikan di media cetak/elektronik mana pun dan merupakan karya pribadi asli (bukan jiplakan).
7. Esai tidak mengandung unsur SARA.
8. Kirim esai ke lombaesaiimuska@gmail.com, pembukaan lomba esai dimulai pada 7 April 2011 dan akan ditutup pada tanggal 30 April 2011 pukul 24.00 KST.
9. Setiap peserta diperbolehkan mengirim lebih dari satu karya.
10. Karya yang masuk menjadi hak milik PPM-Imuska.
11. Tim Juri yang akan menyeleksi esai sebanyak 3 orang, yaitu: Ka Bati (Jurnalis), Ariesa Ulfa (Ketua PPM-Imuska), Deasy Rosalina (Ko. Divisi Humas PPM-Imuska)
12. Keputusan dewan juri tidak bisa diganggu gugat.
13. Pengumuman pemenang diumumkan pada saat Muslimah Gathering III dan selanjutnya akan dipublish melalui milis muslimahindonesia@yahoogroups.com, moslemkorea@yahoogroups.com, website ppm imuska di http://muslimahkorea.multiply.com ,http://ppmimuska.wordpress.com, dan http://imuska.org
Jangan lewatkan momen ini yaaa...sekaligus sebagai wadah untuk saling mengenal di antara Muslimah Indonesia yang tinggal di Korea. Salam hangat musim semi! Ditunggu karya terbaiknya^^
-TIM Humas PPM-Imuska-
Label:
korea,
lomba menulis,
ppm imuska


Langganan:
Postingan (Atom)