Minggu, 12 Juni 2011

Menjilbabi Hati, Menjilbabi Diri

oleh Merisha Hastarina, Jinju [Juara III Lomba Esai PPM-IMUSKA]


Katakanlah kepada wanita yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kehormatannya; janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak padanya. Wajib atas mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya.
(QS An-Nur : 31)

Mengenakan kerudung bagi sebagian wanita di Indonesia masih dijadikan sebuah tren masa kini. Meski peraturan mengenakan kerudung bagi setiap wanita muslimah ini sudah sangat jelas tertuang dalam firman ALLAH SWT (QS. An-Nur: 31). Mind set sebagian warga yang seolah “latah” dengan keadaan sekitar, akan sangat disayangkan terkadang hal ini justru terjadi pada adik-adik kita yang duduk di bangku sekolah. Apakah ada yang salah dengan pendidikan agama mereka? Atau ada yang salah dengan cara orang tua mendidik? Atau kesalahan datang dari pribadi mereka sendiri yang tak begitu memahami peran dan kewajiban berkerudung?

Tak sedikit dari mereka yang latah langsung mengenakan kerudung sesaat setelah booming nya film Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih. Seolah semua ingin sama dan mirip dengan Aisyah dan Ana Althafunnisa dalam kedua film tersebut. Lantas apakah mereka benar-benar sadar akan kerudung yang dikenakannya adalah kewajiban bukan musiman atau trend? Ini pula yang sering kali menjadi penyebab banyaknya muslimah yang kembali membuka kerudungnya.

Sebagaimana dalam hadist Rasulullah SAW “sesungguhnya suatu perkara itu bergantung pada niat nya”. Sama seperti saat kita mengambil keputusan untuk mengenakan kerudung, jika ini sudah benar-benar diniatkan dalam hati untuk memenuhi perintah ALLAH, maka segala bentuk godaan dapat kita lewati.

Berbeda hal nya dengan Korea Selatan, negara yang dikenal tidak memiliki agama ini, tidak mengenal Islam apalagi kerudung. Berkerudung di negeri kimchi ini sudah tentu akan menjadi kaum minoritas. Meskipun Indonesia bukan Negara muslim, namun Indonesia memiliki populasi cukup besar sebagai salah satu negara dengan jumlah muslim terbanyak. Sementara Korea sebagai negara yang tidak mengenal agama ini, sudah mencapai jumlah 145–200 ribu jiwa penduduk yang tercatat sebagai muslim. Meski hanya sekitar 50 ribu jiwa muslim yang notabene warga negara Korea, dan selebihnya adalah pendatang atau warga asing. [1](Suara Media)

Alhamdulilah saya mendapat kesempatan untuk meneruskan studi hingga ke Korea. Ketika membayangkan seperti apa tempat yang akan saya tinggali beberapa tahun ke depan, saya sudah menyadari bahwa agama yang saya peluk bukanlah mayoritas. Namun saya juga tidak menyangka bahwa pengetahuan orang Korea terhadap Islam masih sangat minim. Ini terbukti ketika beberapa tahun lalu hingga sekarang masih saja kerudung saya seringkali menjadi pertanyaan bagi warga yang tidak mengenal apa itu Islam dan apa yang saya kenakan di kepala saya. Belum lagi jika musim panas tiba, pertanyaan lebih banyak muncul karena mungkin mereka merasa aneh dan risih saat orang-orang sibuk berkipas, mengenakan busana yang tipis dan minim, saya justru mengenakan pakaian yang serba tertutup, baju dengan celana atau rok panjang lengkap dengan penutup kepala.

Anehnya pertanyaan tersebut tak hanya dilontarkan oleh orang Korea, tapi juga beberapa kawan dari negara yang mayoritas penduduk nya beragama Islam. Mereka merasa bahwa sedang berada di Korea maka ikutlah apa yang dikerjakan oleh orang Korea dan tinggalkan sejenak budaya yang kita bawa dari negara kita. “Ini kan Korea bukan Indonesia, tidak ada yang berkerudung di sini, jadi lepas saja dulu kerudungmu. Nanti kalau sudah kembali ke negara mu baru kau pakai kembali”. Kalimat itu terlontar dari bibirnya kala itu, ampunkan kami Ya Allah. Padahal yang bersangkutan sudah jelas tahu bahwa yang saya kenakan ini bukan budaya Indonesia.

Menjadi agama minoritas dalam satu lingkungan bukan berarti kita harus melepaskan kepercayaan dan nilai-nilai yang selama ini kita pegang. Sejatinya seperti itu, namun tetap saja saya menemui segelintir kenalan, teman, sahabat yang benar-benar melakukan perubahan diri, cara pandang, appearance, bahkan meninggalkan lingkungan Islam yang dulu dekat dengan nya. Perubahan ini terjadi setelah mereka tiba di Korea, berada di satu tempat baru yang benar-benar berbeda dari negeri asalnya, tanpa ada pengawasan dari orang tua, saudara, teman dekat, belum lagi lingkungan baru ini sangat mendukung untuk menjadikan pribadi yang baru, begitu mungkin sudut pandang pemikiran yang mereka ambil.

Salah satu perubahan yang dilakukan setibanya mereka di Korea adalah dengan menanggalkan kerudung yang selama ini telah dengan sangat baik menjaga auratnya, padahal sebelumnya ketika masih berada di Indonesia mereka telah terbiasa mengenakan penutup kepala ini. Namun entah dorongan dari mana atau karena mereka merasa kerudung bukan sesuatu yang biasa mereka kenakan di Korea sebagai negara yang ditinggalinya sekarang, atau karena merasa risih terlihat berbeda dari teman lain dengan model rambut beragam dan penuh warna. Mungkin beberapa hal tersebut telah membuat mereka merasa yakin untuk mulai meninggalkan kerudung yang mereka rasa dapat mengurangi kebahagiaan dan kebebasan hidup mereka di Korea, Astaghfirullah.

Jika melihat dari segi umur, tentu saudari kita yang melakukan perubahan ini sudah bukan anak kecil lagi namun sudah akhil baligh, sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, bahkan bisa dikatakan mereka adalah orang-orang yang cukup pintar karena tiba di Korea pun karena mendapatkan beasiswa.

Sungguh saya pun masih sangat jauh dari baik apalagi sempurna karena tidak ada yang sempurna di dunia ini, saya juga tidak bermaksud menggurui atau mendikte, hanya saja sangat menyayangkan sekali melihat hal seperti ini terjadi. Apakah memakai kerudung dianggap sebagai sebuah kultur saja? Trend fashion yang saat ini sedang digemari? Sesuatu yang digunakan untuk meningkatkan status sosial? Kewajiban saat di sekolah atau kuliah? Di mana saat semua hal tersebut telah terpenuhi maka kerudung pun dapat dilepas sesuka hati. Tidak kah mereka merasa risih setelah sekian lama mereka menutup auratnya hingga akhirnya memutuskan untuk melepaskan kerudungnya, atau mereka justru merasa tak sabar ingin merasakan sesuatu yang berbeda.

Kita telah dengan sadar menjadikan Islam sebagai pedoman hidup, hal ini berarti kita juga telah percaya dengan sepenuhnya ajaran-ajaran yang termasuk di dalam nya. Islam tidak hanya percaya dalam hati atau hanya dalam lisan saja tapi lebih pada perbuatan karena perbuatan merupakan konkret dari apa yang sudah kita ucapkan dan kita percaya. Jika kita pun percaya dengan hari akhir mengapa tidak dari sekarang kita mencoba menyiapkan bekal untuk ke sana, kita mulai dengan menginterospeksi diri kita apakah kita sudah menjalankan apa-apa yang menjadi kewajiban kita.

Sebetulnya kita sering lupa, padahal di sisi lain kita juga sangat mengerti bahwa eksistensi atau keberadaan kita di dunia ini atas kehendak siapa, tentunya konyol jika kita menjawab orang tua kita semata, karena segala sesuatu yang hidup di muka bumi ini muncul hanya atas izin Allah. Terkadang kita terlalu bangga dengan apa yang telah kita capai, hingga lupa bahwa semua itu juga hadir atas keinginan Allah, siapa yang membawa kita hingga terbang jauh sampai ke Negeri Ginseng. Lantas mengapa kita ingat peraturan yang diberikan dosen di dalam kelas, peraturan dari pemerintah yang harus kita taati atau peraturan dari presiden yang harus didengarkan dapat dengan mudah kita ingat di kepala, sedangkan satu perintah dari yang Maha Tinggi tak kita gubris, malah kita lupakan. Padahal Ia lah yang menciptakan kita hingga dapat kita rasakan berada di bumi ini dengan segala warna warni yang ada.

Tidak pantas rasanya bagi kita untuk melupakan perintah-Nya jika kita ingin selalu diingat-Nya. Tidak pantas rasanya jika membuka aurat kita, jika kelak kita ingin bertemu dengan yang Maha Suci. Tidak kah kita merasa malu jika menginginkan begitu banyak kebahagiaan dan cinta dari- Nya, tanpa memberikan apapun bahkan tak mengikuti apa-apa yang telah menjadi seruan-Nya.

Jilbab bukan hanya budaya semata, dikenakan bukan karena sekarang ini sedang banyak orang yang memakainya, bukan agar kita dipandang sebagai orang yang lebih beriman, bukan pula hanya karena satu peraturan yang harus kita patuhi. Kerudung adalah sebuah pilihan, komitmen diri untuk berpegang dan terus berjalan dalam kehidupan Islami.

Tentunya tidak mudah bagi seorang wanita yang mengagungkan dan identik dengan esensi keindahan untuk memulai menutupi satu persatu bagian dari keindahan pemberian Allah yang ada pada dirinya, harus menutupi dirinya dengan balutan jilbab. Namun jika hati telah mantap, tekad telah bulat menjilbabi aurat juga hati pasti akan terasa ringan. Keinginan untuk menjadi makhluk yang dicintai Allah membuat rasa itu muncul dengan sendirinya dari dalam diri. Tak peduli di lingkungan mana kita berada, tak peduli sebagai minoritas atau mayoritas, kita akan terus bangga menjadi seorang muslimah.

Tidak ada komentar: