Rabu, 21 Oktober 2009
Pak Ujang
Pak Ujang, penjual pentol. Tadi pagi aku bertemu dengannya, ketika mampir ke SD mengantarkan surat titipan teman ibu yang tertinggal di rumah. Masih seperti dulu, orangnya, gayanya, sepeda anginnya, dan topinya. Yang berbeda hanyalah rombong yang beliau pakai sekarang telah dicat warna merah muda, dan dagangannya bukan lagi pentol, melainkan batagor. Sosok sederhana ini ternyata begitu luar biasa hebatnya. Dengan modal menjual pentol, berangkat dari SD satu ke SD lainnya, Pak Ujang telah mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga sukses. Salah satunya telah menjadi anggota TNI. Tidak pernah kubayangkan berapa hasil penjualan pria Sunda ini per harinya, cukupkah untuk memberi makan keluarganya. Tetapi nyatanya anaknya telah jadi orang. Aku mengenalnya sejak aku kelas 1 SD, dan sampai sekarang tidak banyak perubahan pada wajahnya, gurat-gurat keriputnya itu. Kalau kebetulan melewati jalan SD itu, aku sering mampir untuk merasakan kembali dagangan buatannya, dan sekaligus berbincang dengannya. Salutku padanya karena dia masih yang dulu, meski anak-anaknya telah sukses. Padahal mungkin, jika dia mau, anaknya bisa memberikannya sebuah motor dan tak perlu ia bersusah payah bersepeda angin menjajakan dagangannya. Ah, Pak Ujang, tidak banyak orang yang sesederhana engkau^^
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar