Oleh Citra Amaliyah, Jeonju
Aku dilahirkan atas karunia-Nya. Aku hidup atas kasih sayang-Nya. Aku ada di negeri ginseng ini atas kebaikan-Nya. Maka aku akan bertahan di sini karena-Nya.
Pengumuman mendadak tentang keberangkatan ke Korea sungguh kabar yang mengagetkan dan juga menggembirakan. Hanya selang satu bulan. Kawanku selalu berkata sebelum keberangkatanku, tak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua yang terjadi selalu punya alasan. Termasuk keputusan Allah akan keberangkatanmu ke Korea. Allah pasti ingin kau banyak belajar di sana, maka berikan lah hal terbaik yang bisa kau berikan di sana, ambil lah manfaat dari setiap detil hidupmu di sana. Itu akan menjadi bekalmu membangun negara ini.
Aku selalu ingat kata-katanya, maka aku jalani hidupku di sini dengan keyakinan bahwa setiap jengkal yang kujalani, terjadi karena Allah ingin aku belajar. Allah ingin aku mengambil hikmah. Allah ingin mengajariku bagaimana menjadi sosok muslimah tangguh di negeri orang agar aku lebih kuat. Dan kuyakin Allah tak akan pernah membiarkan aku sendirian meniti jalan ini.
Keputusan Allah berikutnya adalah soal penempatanku. Bukan. Aku bukan ditempatkan di kota besar seperti Seoul atau Pusan, dengan jumlah muslim yang kurasa lebih banyak. Aku diberi tempat di sebuah kota kecil bernama Jeonju. Bahkan aku menjadi satu-satunya muslimah yang berjilbab dari ribuan mahasiswa undergraduate di sini. Awalnya sungguh berat, tapi dengannya aku sadar, Allah ingin menjadikanku yang terspesial karena aku yang’berbeda’. Justru ini menjadi tempatku berdakwah agar mereka tahu, bahwa Islam agama yang damai. Islam adalah agama yang indah dan Allah ingin aku menjaga akhlakku karena aku adalah representasi muslimah di universitas ini. Lalu temanku selalu menghiburku, kau adalah wanita paling cantik di sana, maka jangan heran jika banyak mata selalu menatap padamu.
Aku juga menjadi satu-satunya muslim di kelasku, di tengah-tengah orang memiliki keyakinan berbeda. Maka dengannya aku belajar hidup bertoleransi. Membaur tanpa harus melebur. Seperti nilai-nilai yang selalu guruku tanamkan, moderat, open minded dan objektif. Tak perlu takut bergaul dengan mereka, justru hapuslah batas-batas yang membentengimu selama ini tanpa melupakan kewajibanmu sebagai muslim. Dengan begitu, mereka akan mengetahui, Islam bukan agama yang angkuh, Islam bukan sarang teroris seperti yang sering diberitakan media. Tapi Islam mengajarkan kita semua untuk berbuat baik terhadap sesama, bertutur kata yang sopan dan bisa hidup berdampingan dengan umat agama lain.
Allah menghadirkan orang-orang baik disekitarku. Meski tak bisa bertatap muka tapi mereka tak membiarkanku sendiri. Maka dengannya, aku sadar akan keindahan ukhuwah Islam. Dengan jalan itu juga, Allah menunjukkan keberadaannya. Iya. Aku tak sendirian. Di luar sana, banyak muslimah lain yang berjuang dengan caranya masing-masing. Berusaha menegakkan kalimat tauhid, tak lelah, meski terasing. Karena seharusnya kita memang yakin, kita tak akan pernah sendirian berjuang. Maka kenapa mesti takut terasing? Dan bukankah Islam memang dimulai dengan keterasingan?
Lalu dari keseluruhan hal yang kualami, aku makin menyadari, inti dari kebahagiaan hidup adalah bagaimana mensyukuri segala hal yang terjadi dalam hidup. Seringkali terlalu jauh kita mencari kebahagiaan, padahal kebahagiaan selalu ada bagi siapa saja yang bersyukur.
Masih pantaskah aku mengeluh? Bukankah Allah masih memberikan jutaan pilihan dalam hidupku? Aku masih bisa menikmati keindahan alam di belahan bumi lain. Menyaksikan terbit dan terbenamnya matahari di belahan bumi lain. Bernafas dengan oksigen dari pepohonan di belahan bumi lain. Melihat salju turun dan merasakannya menyentuh kulit ini. Melihat indahnya sakura dan tulip yang bermekaran lalu kembali berguguran.
Masih bolehkah aku mengeluh? Meski aku tak bisa makan sembarangan, tapi aku masih merasakan nikmatnya seafood, dan sumber daya alam lain yang luar biasa nikmat. Atau setidaknya, aku masih bisa merasakan nikmatnya rasa aman dan nyaman tinggal di negeri ginseng. Lihat lah saudara-saudara muslim di negara lain, Palestina, Afghanistan, yang bahkan bisa-bisa saja tiba-tiba terbunuh ketika hanya sedang duduk manis. Kalau begitu, apakah meraka bisa hidup dengan rasa aman dan nyaman? Aku pun masih bisa merasakan nikmatnya sholat berjamaah karena roommate-ku seorang muslim bahkan hingga puasa sunnah bersama. Sementara di luar sana, ku dengar seorang teman akhwat yang bahkan tak pernah melepas jilbabnya hingga ia tidur.
Perlukan aku mengeluh? Di tengah komunitas yang berpakaian mini, aku harus menutup seluruh tubuhku dengan kain, meski cuaca panas, meski semua orang menatap aneh padaku, meski teman-temanku tak bosan bertanya kapan aku akan melepasnya Padahal karenanya, Allah melindungiku. Tak satu pun berani mengajakku pergi ke night club, tak satu pun yang mengajakku pergi minum soju atau makkoli atau bahkan sekedar berpesta bersama karena dengan jilbab ini mereka tahu aku seorang Muslim. Mereka tahu aku tak boleh minum alkohol atau makan daging babi. Sungguh, bahkan mereka menghormatiku. Setiap kali minum bir di depanku, selalu ada kata maaf yang terucap dari mereka. Bahkan mereka tak sungkan memberitahuku jika ada makanan halal yang disuguhkan padaku.
Kurasa aku tak pantas mengeluh dengen kenikmatan yang banyak Allah berikan padaku dan segala keistimewaan yang dianugerahkannya padaku. Bahkan dengan jilbab ini, Allah ingin menjadikanku yang terbaik di kelas. Aku yang ‘berbeda’ tentu membuat dosen dikelas selalu mengingatku, setiap pertanyaan yang terlontar, namaku lah yang ia sebut. Maka itu kujadikan motivasi untuk terus belajar menjadi yang terbaik. Bukan kah dalam Islam pun, Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu? Dan atas kebaikan-Nya, Allah mengizinkanku mendapat nilai terbaik dalam ujian berbicara.
Pun karena jilbab ini, aku bertemu banyak orang baru yang sungguh heterogen. Begitu banyak orang yang menyapa meski aku tak mengenal mereka. Begitu banyak yang bertanya tentangku, tentang jilbabku, tentang Indonesia dan bahkan tentang Islam. Bahkan aku diminta menjadi salah satu model dalam video yang akan digunakan sebagai profil kampusku di website. Maka dengannya aku termotivasi untuk membaca lebih banyak lagi karena aku tak mau dianggap tak mengenali agama dan negaraku sendiri. Kini, kuanggap aku adalah duta bagi negeriku dan agamaku, maka sepatutnya aku harus menjaga kata-kata dan akhlakku.
Bukan hanya itu, Allah bahkan mengizinkanku mendapatkan hal yang lebih indah. Allah memberikanku kesempatan menjadi representasi mahasiswa asing untuk menerima penghargaan saat kelas tradisional Korea. Sebuah kebanggaan ketika sang MC memanggil namaku, -meski dengan dialek Korea, aku tahu itu namaku- dan bisa berdiri di atas panggung untuk menerima sertifikat di depan puluhan mahasiswa asing yang lain. Bukan atas kehebatanku semua ini terjadi, tapi karena Allah selalu punya cara unik untuk membuatku bertahan dalam keceriaan hidup di negeri asing ini.
Dan sepulangnya nanti ke Indonesia, aku akan belajar menjadi sosok yang lebih bersyukur. Di sana, sungguh kita terfasilitasi untuk ber-Islam dengan baik. Masjid yang begitu nyaman untuk beribadah, sehingga aku tak perlu lagi sholat di luar restoran atau di sela-sela tangga. Aku pun tak perlu lagi kebingungan mencari air untuk wudhu atau sampai menaikkan kaki ke wastafel. Tak ada lagi pagi yang begitu dingin sehingga membuatku terlalu nyaman untuk tidur.
Belum lagi homogenitas di Indonesia, sungguh nikmat bisa beribadah berjamaah. Bangun dini hari bersama, Qiyamul Lail bersama, sahur bersama meski hanya dengan sebungkus mie instan. Berada di tengah orang-orang yang sejak bangun hingga tidurku selalu mengingatkanku pada-Nya. Ada di tengah sahabat yang saat jalanku tak lurus, mereka akan menarikku kembali ke jalan-Nya dan selalu siap mengulurkan tangannya saat aku membutuhkan mereka. Selalu menghiasiku dengan senyuman indah dan kata-kata yang menyejukkan. Berbagi kisah tentang perjuangan di kampus tercinta yang dulu mungkin tak begitu terasa nikmatnya. Tapi saat kubayangkan itu setelah sesampainya aku di Korea, aku sadar, dulu sepertinya aku kurang bersyukur.
Maka dengan berjuangnya aku di negeri ginseng ini, aku tahu, Allah ingin menjadikanku lebih dewasa, membuatku menjadi sosok yang lebih mandiri. Tak ada lagi yang membangunkanku untuk Qiyamul Lail, kecuali alarm dari handphone yang berisik. Meski lebih sering niatku lah yang pada akhirnya membangunkanku. Tak ada lagi yang mengingatkanku untuk menyegerakan sholat, melainkan kerinduanku akan-Nya dan buatku itu juga lah satu-satunya jalan untuk menyalurkan rinduku pada keluarga dan sahabat. Allah sungguh Maha Baik. Allah memberikan jalan yang unik bagiku untuk membuatku menjadi sosok manusia, anak, adik, sahabat dan muslim yang lebih baik. Allah memberikan cara yang berbeda untuk menguji keimananku, seperti sebuah sekolah, levelku akan naik jika kumampu melampauinya. Maka apa lagi yang perlu kutakutkan dengan menjadi minoritas di negeri asing ini? Tak ada. Karena kuyakin semuanya hanya akan menjadikanku sosok yang lebih kuat. Aku bahkan bangga, meski amanah ini berat, aku adalah representasi muslimah di negeri orang. I’m a Moslem and I’m proud to be Moslem!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar