Oleh: Citra Amaliyah - Jeonju [Juara 1 Lomba Esai PPM-Imuska]
Awalnya sungguh tak menyangka begitu berat hari yang harus dilalui ketika sendirian berada di negeri orang. Saya sendirian mewakili kampus untuk program pertukaran pelajar di Korea, bukan di Seoul, Busan atau kota besar lainnya. Saya ditempatkan di sebuah kota kecil bernama Jeonju. Hari pertama saya di Korea, saya benar-benar seorang diri, itu pun sudah beruntung saya bisa sampai di Jeonju dengan selamat. Hari itu suhu masih sekitar minus 2 derajat celcius.
Ketika sampai di kampus baru saya, puluhan mata yang saat itu menghadiri orientasi tertuju pada saya. Congratulation! Saya menjadi satu-satunya orang yang berjilbab di sana. Beruntungnya saat keesokan harinya Allah mempertemukan saya dengan orang Indonesia, bukan hanya satu tapi sekaligus 5 (dan akhirnya memang hanya ada 6) orang Indonesia di kampus saya.
Di sini lah petualangan baru dimulai. Beasiswa saya mengharuskan saya untuk makan di kafetaria dorm. Setiap kali waktu makan tiba dengan terpaksa saya pergi ke kafetaria, dan saat itulah orang-orang tak cukup hanya memandang tapi juga menoleh pada saya. Tak cukup sampai di situ, mereka lalu akan berbisik-bisik dengan teman satu geng-nya sambil melirik-lirik. Rasanya risih sekali.
Belum lagi soal makanan, bahasa Korea saya yang sangat nol tidak memungkinkan saya untuk membaca menu apa yang disediakan di sana, apalagi mengenai bahan baku makanannya. Saya ingat sekali, hampir setiap hari saya hanya makan sayur selama satu minggu, dan saya selau hampir menangis setiap waktu makan tiba.
Tapi ternyata Allah sungguh Maha Baik, di tengah-tengah kesulitan itu, saya menerima beberapa message di facebook maupun email dari muslim Indonesia yang berada di Korea, isinya macam-macam, mulai dari berkenalan, memberi semangat, memberi tahu makanan-makanan halal, menghajak hadir dalam majelis ilmu, membantu men-translate untuk bertanya apakah makanan tersebut halal bahkan sampai ada yang rela men-share beasiswa jika saya kesulitan. Saya sungguh takjub dengan ukhuwah Islam di sini. Ada juga yang menawari saya untuk datang ke rumahnya dan masak makanan Indonesia. Sungguh saya tak lagi merasa sendiri di sini. Keindahan ukhuwah Islam kian lama kian saya rasakan, dari keenam orang Indonesia, empat diantaranya adalah muslim, sering kali kami juga menghabiskan akhir pekan bersama berkeliling Jeonju. Atau sekedar mencari makanan halal di luar sana.
Selain itu, di negara yang penuh perbedaan ini, makin hari saya justru makin mem-“bebal”-kan diri saya dengan pandangan dan perkataan orang. Hari itu ada jadwal orientasi untuk Korean Buddy, jadi ceritanya saya akan punya seorang teman Korea untuk belajar bahasa dan budaya. Dengan percaya diri saya datang menggunakan rok batik coklat a la Indonesia. Tapi sayangnya Korean Buddy saya justru tak hadir padahal saya begitu excited hadir dalam acara tersebut. Tapi sebelum saya pulang dengan kecewa, tiba-tiba ada seorang perempuang Korea yang menghampiri saya dan mengajak saya berfoto untuk profil CBNU, kampus saya. Akhirnya tawaran itu saya iyakan.
Saya kira, ini hanya sesi foto biasa yang hanya memakan waktu 10 menit. Tapi saya salah, ketika mendatangi tempat foto, di sana banyak sekali peralatan dan kru yang sudah menunggu. Ternyata ini tak sekedar foto tapi juga salah satu scene untuk video profile CBNU. Di sana juga sudah ada 4 orang teman dari Perancis, 4 orang dari Korea dan 2 orang dari Laos. Kami semua yang akan menjadi model dalam video itu. Ada juga sesi pengambilan gambar untuk 2 orang. Dan karena saya yang ‘berbeda’, saya pada akhirnya di tunjuk menjadi model bersama seorang teman dari Perancis. Lalu sejak saat itu saya sadar, menjadi berbeda justru membuat saya menjadi unik dan spesial.
Setelah itu, teman yang saya miliki di Korea semakin banyak, meski begitu banyak perbedaan yang ada. Mereka sungguh baik pada saya bahkan kadang kala justru mereka berinisiatif memberi tahu saya makanan-makanan yang boleh saya makan. Entah kenapa saya justru sedih karena saya membaca beberapa berita dari Indonesia. Di negeri tercinta saya, justru banyak terjadi kekerasan atas nama agama. Sementara saya di sini, bisa hidup rukun dan berdampingan meski berbeda bahasa dan budaya. Kenapa dengan bahasa dan akar budaya yang sama kita tak mampu saling memahami? Bukan kah Islam pun agama yang mengajarkan cinta kasih terhadap sesama? Yah, saya harus bersyukur, meski saya berbeda mereka bisa menerima dan menghargai perbedaan yang ada.
Minggu berikutnya di Korea, saat sedang sibuk bertanya tentang ke’halal’an makanan pada pegawai kafetaria, tiba-tiba seorang lelaki berwajah oriental menegur saya dan bertanya “Apakah kamu muslim?” Lalu saya jawab iya. Dan alangkah terkejutnya ketika dia mengucapkan Assalamu’alaikum lalu dia pun bercerita kalau dia juga seorang muslim. Meski asli China, akan tetapi dia lahir di keluarga muslim. Subhanallah, unik sekali rasanya melihat muslim berwajah oriental. Akhirnya kami makan di meja yang sama. Ketika saya selesai berdoa sebelum makan, saya mendengarnya mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim. Rasa norak dan takjub saya kembali muncul. Saya ingat pelajaran agama Islam waktu SMA dulu, guru saya selalu bilang Islam adalah agama universal. Dan ini adalah salah satu tanda bahwa Islam memang agama universal, buktinya di negara mana pun salamnya tetap Assalamu’alaikum dan sebelum melakukan kegiatan apa pun bacaannya tetap basmalah.
Setelah di pikir-pikir, banyaknya perbedaan yang ada justru menjadi ladang amal bagi saya. Bagaimana tidak, setelah masuk kelas selama 3 minggu, saya mulai dekat dengan teman-teman sekelas. Saat itu mereka akhirinya mulai berani bertanya tentang jilbab saya. Awalnya mulai dari pertanyaan iseng mereka, “dda berapa jumlah kain kepala yang kamu punya?” Akhirnya dengan iseng saya menghitungnya ketika sampai di asrama. Saat saya bercerita saya memiliki 20 puluh jilbab, mereka takjub dan ber-oh lantas berkata, pantas saja saya lihat setiap hari warnanya selalu berbeda. Saya ingat nasehat salah satu teman saya bahwa salah satu cara berdakwah adalah dengan berpakaian yang baik. Jadilah muslimah yang fashionable tapi tetap syar’i, begitu katanya. Setidaknya berpakaian yang rapih dan matching, jangan sampai jilbabnya berwarna merah dan bajunya hijau. Karena kita tidak sedang membawa citra pribadi kita tapi kita juga menampilkan citra Islam di mata dunia.
Tak hanya mahasiswa lain yang memperhatikan warna jilbab saya yang berbeda-beda bahkan dosen yang mengajar saya pun selalu melihat ke arah saya setiap kali saya masuk kelas. Lalu beliau pasti berkat, ah different color, yepoyyo. Jadi lah saya mahasiswa paling dihafal seantero kelas. Dan sering kali lontaran-lontaran pertanyaan berujung pada saya. Baik lah, itu saya jadikan motivasi untuk lebih rajin belajar lagi.
Kemudian di penghujung minggu ketiga saya di Korea, kelas kami kedatangan empat teman baru dan karena mereka belum punya buku, saya menawarkan diri untuk mengantar mereka ke bookstore. Di tengah perjalanan menuju toko buku mereka mulai bercerita macam-macam, mulai dari bercerita tentang negara mereka sampai tentang kegiatan pesta soju mereka kemarin sampai salah satu di antara mereka mabuk berat dan berkata kasar. Astagfirullah. Padahal usia mereka masih sebaya dengan saya bahkan lebih muda. Tapi di usia mudanya, kehidupan mereka justru dipenuhi dengan kehidupan yang hedonis, minum-minum, dan karaoke.
Akan tetapi, dalam pergaulan, mereka anak-anak yang sangat baik. Bahkan belakangan ini justru mereka yang menjadi teman-teman terdekatku di kelas. Mereka sangat menghargai saya sebagai muslim, dan menjaga kata-kata mereka saat di depan saya. Kadang kala saya sendiri merasa geli melihat ekspresi kaget mereka karena tahu banyak hal yang mereka pikir saya tidak akan tahu. Ketika mereka bertanya apakah saya tahu bar, saya jawab saya tahu meski saya tak pernah ke sana. Saya tahu Lady Gaga meski saya tak suka mendengar lagunya dan saya juga suka menonton film bahkan saya menonton banyak film Hollywood. Saya jelaskan pada mereka meski saya muslim dan berjilbab bukan berarti saya tidak tahu kehidupan dunia luar. Dan ketika saya berinteraksi dengan dunia luar tak berarti saya meninggalkan agama saya karena sesungguhnya kita tak bisa memisahkan kehidupan agama dari kehidupan kita sehari-hari. Maka berbaur lah tanpa harus melebur dan berbangga lah menjadi minoritas di negara ginseng ini…
2 komentar:
subhanallah. sungguh takjub dengan tulisan yg saya baca ini. jadi teringat akan kata2 suami. "jangan pernah takut jika kita berbeda dengan yg lain, karena selama perbedaan yg kita pegang adalah masih dalam kebenaran, maka teruslah bertahan di perbedaan itu."
subhanallah. :)
Halo Mba Dessy^^
sebenernya ini bukan tulisan saya..hehe..ini tulisan juara satu peserta lomba menulis ttg Korea.
Iya, banyak yg bs kita pelajari dari pengalaman penulis. smg menguatkan siapa sj yg sdang berada di wilayah minoritas :)
Posting Komentar