Tampilkan postingan dengan label biodiversity. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label biodiversity. Tampilkan semua postingan

Senin, 14 Desember 2015

Menelusuri Kultivasi Pisang Kuno di Papua Nugini

Proyek ini dilakukan di Centre for Geoarchaeology and Palaeoenvironmental Research, School of Environmental Science and Management, Southern Cross University, Lismore, NSW dan disupervisi oleh C Lentfer and W Boyd.

Beberapa pisang liar adalah endemik di Papua Nugini. Diantaranya adalah yang termasuk dalam spesies Eumusa dan Australimusa, pisang raksasa yang hidup di dataran tinggi yaitu Musa ingens, dan pisang yang toleran terhadap kekeringan yaitu Ensete glaucum (Argent 1976, Simmonds 1956). Selain itu ada ratusan varietas pisang yang tumbuh di kebun, yaitu varietas triploid yang dikembangkan dari spesies Eumusa, ratusan varietas Eumusa diploid, serta hasil persilangan Eumusa/Australimusa yang menghasilkan anakan yang poliploid, dan juga Australimusa tipe Fe'i (MacDaniels 1947, Sharrock 1988,1989, Daniells 2001). Oleh karena itu, mengingat pentingnya pisang di kedua wilayah di Papua Nugini (secara alami dan budidaya), mungkin tidak terlalu mengherankan bahwa ada semakin banyak bukti yang mendukung budidaya awalnya (Bowdery 1999, Wilson1985). Memang bukti baru berkembang dari studi arkeologi dan palaeoenvironmetal di Kuk Swamp di Provinsi Western Highland, menunjukkan sejarah panjang kultivasi pisang di Papua Nugini setidaknya sejak 7.000 tahun yang lalu dan kemungkinan 10.000 tahun yang lalu (Denham et al. 2003). Ini adalah catatan terpanjang kultivasi pisang di seluruh dunia. Selain itu, beberapa titik arkeologi seperti Watom Island di East New Britain memiliki bukti tambahan mengenai kultivasi pisang kira-kira 2.300 tahun yang lalu, yaitu pada saat manusia pembuat puisi Lapita hidup di pulau itu. Mengingat pentingnya penemuan ini, terutama sehubungan dengan asal-usul domestifikasi tanaman dan agrikultura, penting untuk mencoba dan mencari tahu jenis pisang apa yang ditanam manusia di masa lalu dan juga menentukan apakah pisang-pisang ini merupakan hasil kultivasi ataukah tumbuh liar.

Pitolit (deposit silika di dalam tanaman) adalah cara yang paling ideal untuk mencari tahu tentang prasejarah pisang dan menelusuri pola persebarannya. Studi pendahuluan menunjukkan bahwa ada perbedaan antara pitolit dari beberapa jenis pisang. Tetapi perlu studi lanjutan dengan menggunakan material moderen tambahan untuk memastikan hal ini. Tujuan dari proyek ini adalah untuk mengoleksi material lain sebagai referensi material moderen yang dibutuhkan untuk memfasilitasi studi selanjutnya. Jeff Daniells dari Queensland Department of Primary Industries membantu untuk menyusun Musalogue (katalog pisang) untuk ‘International Network for the Improvement of Banana and Plantain’ dan diundang oleh Lentfer untuk berpartisipasi dalam studi lapangan. Selain membantu identifikasi pisang, beliau juga dapat menentukan beberapa penyakit pisang dan mengetahu nutrisi pisang, mendokumentasikan insiden penyakit dan mengoleksi anakan pisang yang memiliki potensi tahan hama dan penyakit atau varietas yang kaya akan vitamin.

Dengan dukungan dana yang diberi dari Pacific Biological Foundation, studi lapangan dimulai pada Agustus 2002. Lebih dari 100 pencapaian baru dari pisang liar dan hasil kultivasi diperoleh dari daerah geografik yang luas, termasuk West New Britain, East New Britain, New Ireland, Western Highlands, East Sepik, Madang and Milne Bay. Beberapa daerah distribusi baru untuk kultivar-kultivar menarik telah diperoleh. Bantuan juga diperoleh dari staf Papua New Guinea Government Institutions dan petani desa.

Material tanaman yang dikoleksi, kini diletakkan di Quarantine Laboratory di School of Environmental Science and Management, Southern Cross University, Lismore, NSW, Australia. Analisis kumpulan pitolit yang diekstraksi dari sampel pisang tambahan sangat berguna untuk mengklarifikasi beberapa masalah palaeoenvironmental yang berhubungan dengan studi arkeologi. Setelah pemeriksaan yang lebih ekstensif terhadap pitolit di dalam biji pisang, perbedaan antara Eumusa, Australimusa, Ensete dan Musa ingens dapat dikonfirmasi. Diketahui pula bahwa Musa ingens yang ditumbuhkan di Kuk bersama-sama dengan Eumusa sekitar 10.000 tahun yang lalu. Mengingat sudah jelasnya keberadaan Eumusa di Kuk dan bukti-bukti yang nyata dari studi arkeologi dan genetik lainnya, sekarang ada bukti yang sangat kuat untuk agrikultur awal di daerah itu (Denham et al. 2003). Selain itu kultivasi Eumusa di Watom telah terverifikasi (Lentfer and Green in press).

Saat ini masih banyak analisis morfometrik pitolit pisang yang harus diselesaikan dan hasil dari analisis ini memiliki potensi untuk dibuang bahkan dengan tambahan informasi yang lebih banyak dari masalah kultivasi dan domestikasi pisang di Papua Nugini dan wilayah sekitarnya. Memang dengan ditemukannya situs-situs mikrofosil pisang prospeknya sangat menjajikan di masa yang akan datang.

Gambar 1. Klasifikasi Musaceae


Gambar 2. Ensete glaucum


Gambar 3. Musa boman dari subgenus Australimusa


Gambar 4. Musa acuminata dari subgenus Eumusa


Gambar 5. Pisang raksasa yaitu Musa ingens dari subgenus Ingentimusa


***

Sumber informasi:
http://apscience.org.au/projects/PBF_02_3/pbf_02_3.htm


Sumber gambar:
1. http://rfcarchives.org.au/Next/FruitImages/WildBananaChart9-94.png
2. http://botany.si.edu/zingiberales/images/Musaceae/ensete_glauca.jpg
3. http://www.crop-diversity.org/mgis/sites/crop-diversity.org.mgis/files/pictures/01BEL0841026_01FRA144_1.jpg?width=512&height=400&inline=true#picture-01BEL0841026-01FRA144-1-jpg
4. http://www.kew.org/files/styles/content_featured/public/assets/KPPCONT_085168.jpg?itok=NMXT12zQ
5. http://myjunglegarden.com/wp-content/uploads/2012/07/Musa-ingens.jpg

Rabu, 28 Oktober 2015

The Abandoned Fruits in Indonesia

In my childhood, as a villager, I lived my life mostly playing within the trees, shrubs and vines. My home is next to the paddy fields. That is why some wild vines and shrubs are very familiar to me, such as wild passiflora and physalis. Beside of that, my parents once had a huge yard. Various kind of mango trees were planted there. There were also jackfruit, jambu, papaya, guava tree, etc. One time, my parents planted other kind of fruiting tree such as rambutan or avocado. But because of some problems in the soil, these kind of trees never bear a fruit. So they were just cut down.

What I want to say is I feel like I know almost all of fruiting trees (at least my knowledge is better than others who live in the city). But, hello, I was wrong. I visitied Banjarbaru about 2 weeks ago and found two kind of fruits that really new for me. They called them buah kecapi (wild mangosteen) and buah mentega (velvet apple). I just felt very curious why I did not even know about these fruits!

Then I remember that one of my office colleagues told me that in his hometown, many teenagers (todays generation) did not have knowledge about local fruits anymore because people just cut them down for the logs. These kind of fruiting trees usually have unfavorable characteristics. Thus, not many people want to eat these fruits anymore. For example, in the case of buah kecapi, it tastes sour and sweet (a little bit), also the flesh stick to the seed, so we almost can not enjoy the flesh. That is why people do not sell and distribute it anymore around the country. As the result, todays generation never know that this fruit is exist.

As I remember my childhood memories and also from the information from my friends on facebook (I made a survey about unpopular fruits on facebook), there are several fruiting trees that also already abandoned because of their unfavorable traits.
1. Juwet (Synzygium cumini)
2. Cerme (Phyllantus acidus)
3. Kepundung (Baccaurea sp.)
4. Jambu mawar (Syzygium jambos)
5. Kepel (Stelechocarpus burahol)
6. many more (still searching… :D)

So, why is it matter to me? Well, as an Indonesian, I think it is very important for me to respect indigenous fruiting trees, by study them and preserve their existence in Indonesia. Our responsibility today is how to make them popular among those imported fruits. Moreover, it is also our responsibility to make the local farmers prefer to plant indigenous fruits. The question is how to change their unfavorable characteristics? It seems very difficult, but at least, by knowing them, later we have willingness to solve these problems.